Tuesday, August 3, 2010

PERGESERAN DAN KONSEKUENSI LOGIS DALAM KONTEKS KEILMUAN

(Versi Baluran Birding Competition 2010)


“I’m a little a alien…
I’m a little alien…
I’m an Englishman in New York”

Pelan-pelan syair itu berdengung berpantulan seperti gema dalam otak saya, yang konon katanya Albert Einstein Si Manusia Super Genius di seluruh jagad raya ini hanya menggunakan 1/3 bagian dari volume total otak yang sebenarnya. Coba kalo’ manusia bisa meng-Optimal-kan total volume otak yang dimilikinya…., maka tak khayal lagi jika manusia berdiri sebagai Sang Penguasa di ujung spektrum evolusi dunia. Layaknya pedang bermata dua yang terasah tajam. Bagaimana tidak, dengan Full Power Intelligence System, manusia berubah menjadi sosok yang serba canggih, namun di sisi lain manusia akan sangat rentan dan interdependen pada lingkungannya, benar bukan??! Hanya saja sekarang masalahnya: kita menyadari atau tidak. Karena dalam pikiran kita, boleh jadi kita berilusi ini dan itu. Tapi jujur harus saya katakan bahwa kenyataannya, semakin modern dan canggih kita berevolusi, maka semakin rentan dan rapuh pula tumpuan peradaban ini...[ ?!]

Eallaaaahh koq malah nggladrah kemana-mana....,

Tulisan ini sengaja saya mulai dengan penggalan lagu ”Englishman in New York”-nya Sting. Lagu yang mengisahkan tentang kesendirian dan keterasingan kaum minoritas. Sampai-sampai Si Sting menggambarkannya sebagai Alien dari Inggris yang tersesat di kota New York. Coba bayangin betapa ribetnya… wujudnya udah alien, dengan logat bahasa “Inggris-Kromo Inggil” yang kental, tersesat di kota terpadat di dunia (New York) yang penduduknya mayoritas memakai bahasa “Inggris-gaul” sebagai bahasa penghantar kesehariannya. Saya berfikir bener-bener sial nasib si Alien ini. Pasti alien ini bakal diketawa’in orang sepanjang jalanan kota New York. Ada yang bilang katrok-lah, ‘ndesit-lah, aneh-lah…, wuiiihh jan apes tenann!!!
By the way…, hal yang sama juga menghantui pikiran saya. Sebagai seorang Birdwatcher/pengamat burung, saya sering sekali merasa kesepian. To be honest…, susah sekali menemukan komunitas birdwatcher di negeri ini. Sering kali masyarakat awam “kurang” faham dengan hobi saya yang satu ini, Apa enaknya ‘ngamati burung, enakan juga ‘nembak burung. Oponi-opini seperti itu lah yang sering saya tangkap dari berbagai obrolan dengan masyarakat yang memang kebanyakan masih awam dengan segala hal yang berbau birdwatching.
Saya lebih sedih lagi jika mengingat pergeseran trend yang terjadi dalam ilmu per-Biologi-an saat ini. Dalam lima tahun terakhir, para Biolog lebih didominasi oleh mahasiswa BioTechno, baik itu BioMoluculer, BioSel atau bahkan ilmu terapan lainnya yang memang lagi ‘in saat ini; BioInformatika. Nah lho…, pertanyaannya pada kemana para Ornitholog, Herpetholog dan semua temen-temen Zoologi saya??
Mengingat fenomena yang terjadi belakangan ini, sudah selayaknya tanda tanya besar patut kita sematkan.

Ada apa gerangan?

Apakah minat para mahasiswa Zoologi semakin luntur gara-gara musti harus berkali-kali keluar masuk hutan kaya’ orang ilang? Atau malahan mahasiswa-mahasiswi sekarang lebih senang duduk manis di dalam laboratorium ber-AC dengan berbalut jas lab dan masker penutup hidung yang selalu berbau harum? Jika alasan di atas menjadi pembenaran tentang pergeseran trend yang terjadi saat ini, maka akan sangat disayangkan sekali.
Saya sempat mendiskusikan fenomena pergeseran trend ini dengan beberapa teman. Salah satunya dengan Kang Bas, dosen Biologi Universitas Diponegoro. Kata beliau, fenomena ini adalah suatu kewajaran. Pasang surut trend dalam Ilmu Biologi sering kali terjadi. Tapi kalo’ dipikir-pikir memang bener juga sich…

Mari kita kupas satu per satu secara pelan dan mendalam...

Berawal dari terbitnya The Origin of Species pada tahun 1859 oleh Charles Darwin, Evolusionisme yang menjalar menjadi bahan pemikiran secara meluas. Meskipun Darwin bukanlah orang pertama yang memandang penciptaan species-species baru secara evolusioner, tetapi dialah yang pertama memberikan eksplanasi secara mendalam mengenai bagaimana evolusi itu terjadi. Lewat pendekatan morfologi dan studi penggunaan habitat, evolusionisme memberikan landasan kuat bagi terbentuknya berbagai paradigma dalam ilmu Biologi. Evolusi kemudian menjadi bahan pemikiran para ahli biologi karena dalam ‘seleksi alam’nya Darwin memberikan banyak informasi mengenai isu biologi yang membuka pintu pengetahuan baru dalam disiplin ilmu tersebut. Lihat saja ilmu Morfologi dan Taksonomi yang kemudian seiring berjalannya waktu berkembang menjadi ilmu anatomi. Tak pelak lagi ilmu ini lah yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya ilmu Biologi Modern seperti biologi sel yang di pelopori oleh Luis Pasteur, lalu berkembang lagi menjadi biologi kultur jaringan, biotechnologi dan yang terakhir bioinformatika. Pemikiran-pemikiran tersebut terus berkembang dan bercabang. Bahkan beberapa ahli biologi yang juga mempelajari bidang sosial sering menganalogikan evolusi sosial seperti pada evolusi biologi. Sebagai salah satu contohnya adalah Herbert Spencer seorang ahli biologi yang menganalogikan Kekerabatan dan organisasi sosial dengan reproduksi. Ekonomi lokal dianalogikan dengan sistem pencernaan. Religi dengan sirkulasi darah, Politik lokal dianalogkan dengan sistem syaraf dan masih banyak lagi. Hal serupa tentu saja juga mempengaruhi kecenderungan minat para Scientist. Saat ini bisa dikatakan “Permintaan Pasar” terhadap ilmu Biologi terapan sangatlah tinggi. Sehingga tidak lah heran jika mahasiswa-mahasiswi Biologi sekarang banyak beralih ke cabang ilmu tersebut. Analoginya dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebagai penyebab terjadinya sebuah perubahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hehehehee... Hidup ini kan dinamis, begitu pula pergeseran dalam konteks keilmuan. Hanya saja bungkus dan cara ber-prosesnya bermacam-macam. Tentu dalam prosesnya kita sering kali berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah yang ada di baliknya, betul tidak…?!
Lambat laun fikiran saya terlempar ke event akbar Baluran Birding Competition 2010 yang baru selesai kami ikuti. Agenda ini sesungguhnya bukan hal baru bagi para birdwatcher. Lomba pengamatan burung seperti ini lazim diadakan di daerah-daerah lain. Hanya saja event ini terasa special (ga’ pake telor ya...) karena T.N. Baluran baru pertama kali mengadakan acara seperti ini. Disamping namanya yang kesohor sebagai salah satu taman nasional tertua di Indonesia, T.N. Baluran juga memiliki satwa endemik yaitu Banteng (Bos sondaicus). Hal ini lah yang menjadi salah satu daya pikat bagi para peserta untuk datang mengikuti perhelatan Baluran Birding Competition 2010. Pelopor pendiri T.N. Baluran sebenarnya adalah AH. Loedeboer seorang warga berkebangsaan Belanda, yang kemudian pada tahun 1930 oleh KW. Dammerman-Direktur Kebun Raya Bogor saat itu, diusulkan menjadi hutan lindung. Seiring berjalannya waktu, akhirnya tanggal 6 Maret 1980 bertepatan dengan hari Strategi Pelestarian se-Dunia, Baluran yang saat itu berstatus sebagai Suaka Margasatwa oleh menteri Pertanian disah kan menjadi Taman Nasional.
Sadar atau tidak, momentum Baluran Birding Competition 2010 kemaren telah mementahkan berbagai gundah yang berkecamuk dalam otak saya. Ajang yang mengambil tema: Mendorong dan Mengembangkan Konservasi Burung , Menuju Kepada Konservasi Nasional tersebut menjadi pembuktian bahwa Zoologi yang dikatakan sebagai ilmu Biologi Classic ternyata masih tetap mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Tercatat 62 tim (setiap tim beranggotakan tiga orang) plus 8 peserta kategori Expert ikut berpartisipasi dalam event Baluran Birding Competition 2010, bahkan ada dua peserta yang berasal dari negara Swiss. Jika dikakulasi dalam skala lebih luas maka kurang lebih 194 orang peserta yang ikut ambil bagian dalam event tersebut. Woooww…, benar-benar jumlah yang Funtastis, Boombastis dan Spectakular!!! Bahkan tidak terlalu berlebihan kiranya jika acara ini disebut sebagai ajang reuni-an atau Jambore-nya para birdwatcher Indonesia. Bayangkan saja, mulai dari ujung timur; Univeritas Andalas, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Semarang, Universitas Gadjah Mada, Universitas Erlangga, Universitas Malang, Universitas Brawijaya, Universitas Jember, (lalu meloncat ke pulau selanjutnya karena Bali yang biasanya diwakili Universitas Udayana kebetulan absen dalam acara kemaren), Universitas Mataram, sampai dengan peserta dari ujung timur Indonesia yang diwakili temen-temen FreePort-Papua. Belum lagi perwakilan dari NGO (Non Government Organization) seperti Kutilang Indonesia, Kokokan-Bali, Bionic, SBC (Semarang Bird Community) dan ditambah lagi kawan-kawan dari Balai KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam). Semunya tumplek blekk, lebur menjadi satu.
Dari kompetisi kemaren akhirnya tim Volunteir dari Taman Nasional Bali Barat berhasil menyandang predikat juara pertama untuk kategori Beginner/ber-regu, lalu disusul Tim Al Soneta dari Jogja dan tim dari Universitas Semarang (maaf kalo’ yang ini saya lupa nama timnya karena saking banyaknya peserta. hehehehe…).Sedangkan untuk kategori Expert/perorangan berhasil dimenangkan oleh Heru Cahyono dari Universitas Malang sedangkan peringkat ke dua serta ke tiga diraih oleh K. Wahyudi dari Taman Nasional Bali Barat dan Dimas H. Pradana dari Universitas Indonesia. Kategori lainnya yang tak kalah bergengsi adalah kategori Tim Favorit yang kali ini dimenangkan oleh -Jogja. Sekedar catatan tambahan: semua anggota Tim Schedulsen ini masih bersatatus pelajar SLTP. (kereenn…, saludos!!!)
Terus terang hati saya saya sangat senang saat melihat juara-juara baru bermunculan. Ini semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa kader-kader birdwatcher Indonesia ternyata masih ada. Dan yang paling penting, saya semakin mempunyai banyak kawan sesama peng-hobi birdwatching. Walaupun kami dari tim Kokokan gagal membawa pulang gelar juara dalam perhelatan akbar ini, tapi kami tidak patah arang. Tahun depan kami bertekad untuk kembali ke Baluran dan pantang pulang dengan tangan hampa. Huahahhahahhaaa….!!! (ketawa licik sambil berkacak pinggang).
Buat saya pribadi, essential point dari semua ini bukan lah persaingan perebuatan gelar juara yang prestigious, berlomba untuk menjadi terbaik dari yang terbaik, melainkan moment emas ketika saya berjumpa dengan teman-teman lama yang selama ini selalu saya rindukan. Memulai lagi networking dan silaturahim yang sekian lama telah terputus. Terlebih lagi saya merasa menemukan rumah saya kembali. Tempat saya singgah walau hanya untuk berteduh dan menyeka keringat. Dan yang paling penting, saya sekarang tidak merasa kesepian lagi.
Akhirnya..., saya tidak mau ambil pusing lagi tentang spekulasi skenario pergeseran trend dan konsekuensi logis dari sebuah konteks keilmuan. Karena hal itu memang tidak sanggup saya kendalikan. Lalu untuk apa saya membuang waktu? Kadang-kadang, kita terus larut memikirkan orang lain dan situasi yang tidak bisa kita kendalikan, dan lagi-lagi, melupakan kendali yang paling riil dan bisa kita pakai segera;
kendali pada diri kita sendiri.
Sejenak, lupakan segudang teori dan paradigma sampah yang membungkus otak kita, lupakan dari diplin ilmu mana kita berasal (karena faktanya semua ilmu mempunyai keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya), lupakan para BioTechno, BioMoleculer, BioKultur, BioSel dan Bio-bio lainnya yang sibuk mencari pengakuan betapa hebatnya ilmu yang mereka miliki, atau lupakan pemerintah-plat merah yang selalu mengaku nomer satu dan tanggap terhadap bahaya yang mengancam bumi ini, lupakan siapa pun yang ada di luar diri Anda. Termasuk saya. Sekarang, mari bertanya: siapa Anda? Apa yang Anda bisa lakukan? Menurut saya, dua pertanyaan itulah yang paling berarti. Dan sisanya fana...

Saya masih percaya, alam punya inteligensi luar biasa
yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan bahasa dan cara.
Maukah kita mencoba, bukan hanya dengan lantunan doa yang diucap
untuk kelangsungan kehidupan jutaan biodeversitas di Indonesia,
melainkan dengan gerakan nyata dari diri kita sendiri.
Lakukan apa saja yang kita bisa untuk menyelamatkan mereka, karena kalo bukan kita siapa lagi??


= Viva Birdwatcher Indonesia =


(red: oleh-oleh Andry Khusnul Ichsan dari Lomba Pengamatan Burung mBaluran,.........terus semangat bro, lanjutken perjuangan.......... biggrin)

3 comments:

  1. Salam kenal mas!!! salut juga buat pengamat burung indonesia!! kemarin banyak juga ya yang dari sekolah, ada SMPN 16 Schedulsem Spenamlasta, terus dari Papua, terus Al Soneta (Alumni Skolah Menengah Pertama) sama Arismaduta..ternyata birdwatching itu bukan lagi kegiatan 17+ ya???

    Saya link ke blog saya ya??hehehehe

    ReplyDelete
  2. mantab ndan! wes gak usah ngelu mikiri mBiomolekuler, mBiotech po meneh mBioinfo. pokoke kabeh mugo2 bertujuan untuk kelestarian alam hohohohoho (ngguyu digawe2 karo merem melek :D)

    ReplyDelete
  3. @Akirazee: salam kenal jg masbro..., monggo jennengan link. bebas buat di link atau di copy demi Kemaslahatan Umat. hehehehehheee...

    @mas Swiss: wduh snengnya tulisanku di Coment sama mahaguru dari Baluaran. iyo mas, saiki ngeluku langsung ilang bar nonto' sampean ngguyu dhewe karo merem melek.(heheheee....,)

    ReplyDelete