Monday, October 25, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 part II

Oleh: Andry X-san

Monitoring raptor migran di gunung Sega memasuki minggu ke dua masih mencatat hasil yang mencengangkan. Selama rentang waktu 6 hari pengamatan (sejak tgl 18-23 Oktober 2010), tercatat sebanyak 9.066 raptor migran yang melintas di kawasan ini (data tersaji dalam diagram lingkaran red.). Terdapat kenaikan signifikan terhadap jumlah raptor migran yang melintas bila dibandingkan dengan pengamatan minggu sebelumnya (tgl 12-17 Oktber 2010) yang hanya berjumlah 5.273. Dari jumlah tersebut pencatatan terbanyak terjadi dalam rentang waktu antara pkl. 11.00-12.00 Wita (data tersaji dalam diagram batang red.). Hal ini lebih disebabkan oleh faktor cuaca dimana pada jam-jam inilah biasanya kabut sudah mulai menghilang, cuaca cerah dengan intensitas tutupan awan kurang dari 5% dan skala hembusan angin berkisar antara 8-15 km/jam.

Sementara 4 besar kelompok raptor migran antara lain: Accipiter soloensis, Accipiter gularis, Pernis ptilorhynchus dan Falco peregrinus masih mendominasi arus migrasi pada minggu ini. Sedangkan tingginya jumlah raptor migran yang tidak teridentifikasi kebanyakan dikarenakan saat melintas raptor migran berada jauh dari pengamat. Biasanya elang-elang ini menggunakan jalur dari arah kanan Gunung Agung. Jalur ini sering kali digunakan raptor migran saat minimnya angin yang berhembus dari arah barat daya. Bila kondisi ini terjadi maka pengamat sering kali kesulitan untuk mengidentifikasi raptor yang melintas karena raptor migran ini akan berbelok menuju balik punggung bukit Bagas atau bukit Lempuyang (rincian tiga jalur besar lintasan raptor migran di Gunung Sega bisa ditemukan ditulisan berjudul “Lelaki itu bernama: DONO WALUYO” dan "Bali Raptor Watch 2010 Part1"

Jumlah terkecil raptor migran yang kami catat adalah tgl 22 Oktober 2010. Dimana kami hanya mendapati 190 raptor migran yang melintas. Semua ini adalah jenis Accipiter soloensis. Selama hari itu cuaca mendung berkabut dengan skala angin berkisar antara 0-3 km/jam. Sedangkan pencatatan dengan jumlah terbanyak terjadi pada tgl 21 Oktober 2010 yaitu sejumlah 2.587 raptor migran yang melintas di kawasan ini. Jumlah tersebut terdiri dari: 1.371 Accipiter soloensis, 148 Pernis ptilorhynchus, 1 Accipiter gularis, 1 Falco peregrinus dan 1.066 raptor migran yang tak teridentifikasi.

Bagaimana dengan pengamatan yang teman-teman lakukan? Apakah sama dengan kondisi yang terjadi di Gunung Sega, Karangasem-Bali? Besar harapan kami agar data-data ini bisa menjadi bahan perbandingan untuk membantu menerangkan secara lebih mendalam tentang fenomena raptor migran yang terjadi saat ini. Least but not last, untuk teman-temanku di seluruh penjuru planet ini, selamat melakukan pengamatan Raptor Migran. Semoga apa yang kalian lakukan bisa menjadikan wajah bumi ini berseri kembali… Amiin.



Salam Lestari,


Sunday, October 24, 2010

Lelaki itu bernama: DONO WALUYO (Catatan Harian Bali Raptor Watch 2010)

oleh: Andry X-san

Dono Waluyo, atau biasanya sering kami panggil dengan sebutan Pak Dono. Pria kelahiran Pemalang, 4 Oktober 1962 ini beberapa tahun silam telah mempersunting istri bernama Nur Ayu Apsari dan sampai sekarang telah dikaruniai dua orang anak bernama Nur Kintani Lisan (18 tahun) dan Agung Mukti Raharjo (10 tahun). Ditengah kesibukannya sebagai Staff stasiun TVRI Gunung Sega sejak tahun 2000, beliau selalu menyempatkan diri untuk melakukan monitoring Raptor Migran yang kebetulan melewati menara stasiun tempat ia bekerja.

Menurut penuturan beliau, kegiatan ini telah dilakukannya sejak tahun 2005 bersama Fransisco Germi. Germi sendirilah yang mengajarinya cara menggunakan binokuler sampai dengan cara mengidentifikasi elang-elang migran yang melintas di kawasan Gunung Sega. Pria yang lekat dengan jumper putihnya yang kusam dan kaca mata hitam saat pengamatan ini memang tidak punya basic sebagai Ornithologis, maklum dia dulunya jebolan mahasisiwa lulusan D1 tehnik Elektro. Walaupun begitu, kami sempat dibuatnya terbengong-bengong menyaksikan kejelian dan keakuratannya dalam mengidentifikasi raptor migran. Bahkan ia sekarang telah piawai memainkan fokus lensa Bushneil kaliber 8x45, satu-satunya senjata pengamatan yang ia warisi dari Germi. Awalnya ia menggangap kegiatan monitoring Raptor Migran ini sebagai kegiatan iseng-isengan atau sekedar untuk mengisi waktu luangnnya. Namun lambat laun ia merasa ketagihan. “Saya koq seneng ya mas ngamati burung ini. Rasanya ada yang kurang mas kalau saya ‘ndak melakukan pengamatan ini, seakan sudah jadi tanggung jawab moral pada hal kalo’ saya ‘ndak melakukan pengamatan ini kan juga ‘ndak pa-pa”, begitu tuturnya.

Pengamatan raptor migran ini telah dilakukannya sejak tahun 2004, namun saat itu ia sekedar belajar dasar-dasar pengamatan. Berlanjut tahun 2005, Pak Dono yang saat itu masih dipandu oleh Germi melakukan pengamatan secara rutin. Dalam periode tersebut tercipta rekor pencatatan mencapai 91.323 raptor migran yang melintasi kawasan Gunung Sega. Kemudian ditahun 2006 sampai dengan sekarang ia mulai mandiri, melakukan pengamatan sendiri tanpa di temani oleh Germi. Paling-paling sesekali bila kami punya waktu luang, kami menemani pak Dono untuk monitoring raptor migran. Sifatnya yang sederhana dan senyum ramah yang tak pernah hilang dari wajahnya senantiasa membuat kami kerasan dan kangen untuk melakukan pengamatan bersama beliau lagi.

Sambil menyulut rokok Gudang Garam filter kegemarannya, ia menjelaskan secara runtun pengalamannya selama 6 tahun mengamati raptor migran. Katanya, perbedaan yang paling mencolok adalah semakin berkurangnya jumlah raptor migran yang melewati Gunung Sega ini. Sedangkan untuk jenis raptor migran yang melintas dari tahun ke tahun masih tetap didominasi oleh empat kelompok besar yaitu Elang Alap Cina (Accipiter soloensis), Elang Alap Nipon (Accipiter gularis), Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) dan Alap-alap Kawah (Falco peregrinus). Terdapat tiga jalur besar raptor migran yang dapat terpantau dari spot ini. Yang pertama, jalur dari sebelah kanan Gunung Agung. Raptor dari arah ini akan melintas di atas daerah Tirtagangga dan kemudian menyeberang melewati selat Lombok. Jalur yang ke dua adalah jalur dari arah Bebandem melintasi Abang. Jika hembusan angin bagus, di daerah Abang ini lah biasanya raptor migran melakukan ativitas soaring. Di jalur ini pula lah kita biasanya sangat mudah untuk mengidentifikasi jenis raptor migran yang melintas. Dan jalur yang terakhir adalah jalur dari sebelah kiri Gunung Agung. Raptor migran yang mengambil jalur ini akan berbelok dan soaring di daerah Culik lalu melintas di atas Gunung Bagas yang kebetulan berada di sebelah kiri shelter pengamatan kami.

Selama pengamatan, Pak Dono mencatat pukul 10.00-14.00 Wita adalah rentang waktu yang ideal untuk melakukan pengamatan di daerah ini. Maklum, faktor non-teknis seperti tutupan kabut, mendung dan hujan sering kali menjadi faktor penghalang saat pengamatan. Bila hembusan angin bagus, yaitu angin yang berasal dari arah Barat Daya dengan kisaran kecepatan 5-15 km/jam, ditambah lagi cuaca cerah dengan tutupan mendung yang hanya sebatas 5% maka dijamin kita akan puas melihat raptor migran melintas tepat di hadapan kita dengan mata telanjang, tanpa menggunakan bantuan binokular.

Konon katanya menurut penuturan lelaki berzodiak Libra ini, dulu ketika beliau masih kecil, burung-burung ini (raptor migran red.) digunakan sebagai pertanda bahwa musim panen dan musim berlayar mencari ikan telah tiba. Bahkan dulu anak-anak kecil mempunyai nyanyian khas untuk menyambut datangnya raptor migran ini.

Tepung lumbung dhowo ulo-ulo,

anake lungo ngentrung, bapake lungo njolo”

Begitulah sepenggal syair yang dinyanyikannya, yang artinya Tepung lumbung: burung-burung kecil yang melayang di angkasa bagai tepung di lumbung (tempat untuk menyimpan hasil panen seperti beras, jagung, gandum dll.). Dhowo ulo-ulo: berjajar memanjang seperti Ulo (ular). Anake lungo ngentrung: anaknya bermain kentrung (di Jawa dikenal sebagai alat musik semacam gitar kecil berdawai empat). Bapake lungo njolo: ayahnya pergi “Njolo atau pergi menjala mencari ikan.

Lalu sambil diselingi canda khasnya, kembali ia mengisahkan suka duka selama mengamati raptor migran di tempat ini.

Tak terasa kopi yang ia suguhkan sudah habis kami teguk bersama-sama. Kabut pun mulai turun menyelimuti Gunung Sega. Kami beranjak pamit pulang walau kami tau hati ini sebenarnya berat dan pengen lebih lama lagi tinggal di tempat ini bersama beliau. Tapi apalah daya kami…, kami juga harus melanjutkan pekerjaan agar dapur rumah kami bisa terus mengepul. Akhirnya pria dengan sorot mata sendu ini berpesan pada kami: “Hati-hati di jalan lho ya. Ga usah ngebut-ngebut, kalo udah nyampek rumah sms yaa…”. Dan kami pun bergegas pulang dan sekali lagi meninggalkan dia sendiri……

Itulah sepenggal oleh-oleh kami dari Gunung Sega tahun ini. Kisah hidup yang menginspirasi kami semua. Sudah selayaknya kita bercermin dari sosok seperti Pak Dono. Kerutan di dahi dan warna legam kulitnya karena terpanggang terik matahari setelah sekian lama pengamatan seolah menjadi relief bisu kegigihan tekadnya. Walaupun berbekal binokuler yang lensanya sudah ditumbuhi jamur, tak pernah sekalipun mengendurkan semangatnya untuk melakukan pengamatan setiap hari. Kaca mata hitam, topi merah dan jumper lusuh yang senantiasa ia pakai saat pengamatan seakan ikut menjadi energi pembakar semangat kami untuk sebisa mungkin melakukan hal yang terbaik bagi bumi ini. Pak Dono hanya berharap khalayak umum lebih banyak tahu tentang adanya lintasan raptor migran ditempat ini. Sukur-sukur kalo ada pihak “yang berkompeten” memberikan perhatian yang serius tentang fenomena langka ini. Beliau juga punya cita-cita agar kelak ada yang mewarisi kegiatan monitoring raptor migran ini, minimal dari anaknya sendiri. Sungguh harapan serta cita-cita yang sederhana, tidak muluk-muluk. Dan jika ditanya mau sampai kapan mengamati raptor ini, beliau hanya menjawab singkat: “Sampai saya masih sanggup untuk melakukannya….”.


Salam hijau untuk bumi yang kian memerah,



= There’s a hope on every fright, and there’s a light on every night =



Wednesday, October 20, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 part I

oleh: Andry X-san



Gunung Sega terletak di kabupaten Karangasem, Bali. Sekitar 2,5 jam perjalanan dari kota Denpasar. Satu dari deretan pegunungan yang membentang di belahan timur pulau Bali. Lokasi ini berdekatan dengan pura Lempuyang yang merupakan salah satu dari tujuh pura besar di Bali. Shelter pengamatan kami pun boleh dibilang mudah untuk dijangkau kendaraan bermotor. Hanya saja jalannya agak menanjakdan kita harus lihai menaklukkan tikungan-tikungan terjal sepanjang pinggiran bukit. Di atas Gunung ini terdapat Stasiun Relai TVRI. Kalo datang penyakit malas untuk membuka tenda Dome yang telah kami bawa, biasanya kami numpang tidur disana. Yaah kebetulan kami memiliki sahabat karib di Stasiun relai tersebut. Namanya Pak Dono. Sudah bertahun-tahun Pak Dono melakukan pengamatan bersama kami. Malahan kayanya lambat laun Pak Dono makin jago mengidentifikasi raptor migran dibandingkan kami (salut buat Pak Dono).


By the way, dari sekian pengamatan yang kami lakukan (2006 – sekarang) kami selalu menjumpai ribuan ekor Raptor Migran. Bahkan pada bulan September - November 2005 tercatat 91.232 raptor migran yang melintasi daerah ini (Germi dan Dono, 2005), artinya rata-rata 1000 raptor migran ter-record setiap harinya. Maka tidak lah mengherankan jika spot pengamatan Gunung Sega ini disebut-sebut sebagai Bottle Neck-nya Bali bagian timur. Daerah yang selalu menjadi main line raptor migran yang akan keluar dari pulau Bali melintasi selat Lombok dengan tujuan yang kami perkirakan adalah pulau seberang yang selalu terlihat dari Gunung Sega yaitu pulau Lombok. Disamping itu, letak spot pengamatan Gunung Sega (08022’50’’S – 115038’17’’E) boleh dibilang sangat strategis karena dengan ketinggian 765 meter dari permukaan laut serta posisi yang berhadapan dengan Gunung Agung dan dua pegunungan lainnya yaitu Gunung Lempuyang dan Gunung Bagas, menjadikannya sebagai spot yang ideal untuk melakukan pengamatan Raptor Migran. Bahkan jika cuaca dan angin mendukung, kita bisa melihat dengan kasat mata (tanpa bantuan binokuler) raptor migran melintas di hadapan kita (jarak antara birdwatcher dan raptor migran kurang lebih 8-10m).


Menurut analisa kami sejauh ini, diduga Gunung Agung dan derah sekitarnya seperti Bebandem, Tirtagangga serta Abang menjadi Resting area dari raptor migran. Karena selama pengamatan kami sering melihat ratusan raptor migran melakukakan aktivitas soaring di pagi hari di daerah-daerah tersebut dan kemudian flapping, gliding atau kembali soaring tepat di lekukan bukit di depan shelter pengamatan kami. Kemungkinan besar raptor ini memanfaatkan hembusan angin dan thermal (udara panas) yang berhembus dari lekukan-lekukan bukit. Karena dengan adanya energi panas dan hembusan angin tersebut, dapat membantu raptor migran untuk terbang melambung tinggi sebagai tanda start awal untuk melintasi selat Lombok. Kami meng-asumsikan aktivitas yang dilakukan raptor migran ini sebagai upaya efisiensi energi karena dengan terbang di atas ketinggian rata-rata maka akan mempermudah raptor migran untuk melewati bentangan perairan selat Lombok yang memantulkan panas matahari secara langsung, yang hal ini malah akan mempercepat terkurasnya energi Raptor migran untuk melanjutkan perjalanannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengamatan kami sangat terbantu dengan landscape (bentang alam) Gunung Sega seperti yang tersebut di atas. Sebagai bahan perbandingan, dari 2 hari pengamatan (16-17 Oktober 2010) kami berhasil mencatat 1.128 raptor migran yang melintas. 1.085 Accipiter soloensis (96%), 21 Pernis ptilorhyncus (1,86%), 5 Accipiter gularis (0,44%), 1 Falco peregrinus (0,09%) dan 16 raptor tak teridentifikasi (1,42%) karena terhalang mendung, atau jarak terbang yang sudah terlampau tinggi sehingga kami kesulitan untuk mengidentifikasinya (data terlampir red). Data ini pun belum ditambah dengan jumlah yang telah ter-record oleh teman kami Pak Dono yang lebih dulu melakukan pengamatan sejak 12-15 Oktober 2010, yaitu sebanyak 4.145 raptor migran. Jadi kalo ditotal selama rentang waktu 6 hari pengamatan (12-17 Oktober 2010) jumlah raptor migran yang telah melintasi pulau ini adalah 5.273. Sedangkan alokasi waktu raptor migran yang paling banyak melintas dijumpai antara pkl. 10.00-13.00 Wita (data tersaji dalam diagram batang red). Selain raptor migran, kami juga mencatat setidaknya lima ekor Elang-Ular Bido (Spilornhis cheel) atau masyarakat sekitar menyebutnya “Ke-kelik” yang merupakan elang resident di daerah tersebut. Malahan sering kali Elang Bido ini kami jadikan indicator kemunculan raptor migran yang akan melintasi daerah ini.Kendala yang sering terjadi selama pengamatan adalah cuaca yang tidak menentu. Bahkan di Gunung Sega, suhu siang hari bisa mencapai 370-390 celcius (bagus untuk program pemutihan kulit kawan… karena setelah pengamatan, kulit kita akan mengelupas satu-persatu dan menjadi putih lagi. Heheheheheee…). Yah maklumlah, tahun ini Bali mengalami anomali cuaca yang benar-benar susah diprediksi. Seperti yang terjadi pada hari terakhir kami pengamatan (17 Oktober 2010), kami baru menjumpai raptor pertama yang melintas setelah memasuki rentang waktu antara pkl. 10.00-11.00 Wita karena sebelumnya cuaca berkabut dan hujan. Padahal biasanya dipagi hari raptor migran ini sudah melintasi Gunung Sega. Disamping itu, minimnya peralatan dokumentasi membuat kita sering kewalahan. Jadi mohon dimaklumi kalo hasil jepret-an raptor migrannya cuma terlihat titik-titik hitam atau kemrumpul kaya’ Laron (heheheheheheee….).


Oiya kawan…, disela-sela pengamatan ini kami mendengar berita tidak menyenangkan. Masyarakat sekitar Gunung Lempuyang, Bagas dan Sega digegerkan dengan adanya pengeboran berskala besar di daerah tersebut. Kuat kabar yang berhembus mengatakan daerah ini akan digunakan sebagai daerah penambangan emas dan tembaga (Bali Post, 18 Oktober 2010). Sungguh malang nasib negeri ini. Tidak kah kita mau sebentar saja bercermin dengan ribuan kubik gelontoran air bah, puluhan bangunan porak poranda terhempas badai, lidah api yang menyala-nyala tak kenal ampun membakar apa saja yang dilaluinya. Ini semua tak lain karena ulah kita sendiri. Dan yang mengherankan kenapa selalu saja ada figur Decepticons, Naraku, Bhu, Joker, Two Face, Mr. Pinguin, Green Goblin, Lex Luther, Magneto, Dr. Octopus, Black Veder dan Firaun yang kerap kali membuat kerusakan di bumi ini. Kenapa setiap orang tidak memilih menjadi tokoh pembela kebenaran seperti Batman, Superman, Spiderman, Ironman, Ultraman dan “Men-Men” lainnya sehingga bumi ini damai dan lestari. Atau barang kali memang ini lah panggung kehidupan yang sebenarnya? Huallah hu a’alam….

Singkat kata kegiatan Raptor Migran kali ini benar-benar membawa pencerahan yang jelas bukan di kulit kami melainkan di hati kami. Dan akhirnya semoga apa yang kami lakukan ini bisa bermanfaat untuk bumi dan para Reptorian di seluruh Indonesia.




Friday, October 8, 2010

“Penampakan” Julang Emas (Aceros undulatus) di Br. Dauh Siong, Desa Lumbung Kauh kec. Selemadeg Barat kab Tabanan, Bali

(Catatan Perjalanan 06 Oktober 2010)
oleh: robithotul huda

Tak pernah terfikirkan dibenak kami bahwa ada jenis burung rangkong di desa Lumbung Kauh ini. Bahkan saat kami sedang mencari kawasan hutan sebaran Julang Emas di Bali, kami tidak memetakan kawasan ini dalam target untuk di survey. Yang kami petakan dalam survey adalah kawasan-kawasan hutan yang luas seperti kawasan hutan Register Tanah Kehutanan (RTK 04 Batukahu). Selain kawasan hutan yang luas, masyarakat sekitar kawasan hutan juga menginformasikan bahwa mereka pernah menjumpai jenis burung rangkong (ngos-ngosan = orang Bali menyebutnya) tersebut beberapa tahun lampau. Namun setelah kami survey ternyata kami tidak menemukan jejaknya sama sekali.

Saat kami sedang konsentrasi dengan satwa lain, kami justru menemukan Julang Emas berada di hutan yang tidak terlalu luas dan terisolasi oleh perkebunan masyarakat. Hal ini membuat kami gembira sekaligus menampar muka kami yang telah menyatakan bahwa kemungkinan Julang Emas yang tersisa hanya terdapat di Taman Nasional Bali Barat (meski belum final).

Lokasi dan potensi

Lokasi perjumpaan ini tepatnya di titik kordinat S 08º27’14.2” E 115º59’30.7”, ketinggian + 356 mdpl. dan masuk wilayah br. Dauh Siong, desa Lumbung Kauh, kec. Selemadeg Barat, Kab. Tabanan.

Topografinya desa ini berbukit-bukit dengan kelerengan landai sampai sangat curam. Karena lokasi desa yang berada di perbukitan, maka sumber air sangat sulit didapat. Masyarakat memanfaatkan sungai yang ada di bawah bukit untuk keperluan sehari-hari sekaligus untuk irigasi ladang mereka. Sungai (tukad= istilah Bali) tersebut adalah tukad Balian dan Yeh Aya. Dua sungai ini bertemu di satu titik (campuan= istilah Bali) kemudian oleh masyarakat dibendung dan di alirkan ke pemukiman dan ke ladang-ladang yang diatur oleh subak (= pengatur saluran irigasi tradisional masyarakat Bali). Sedangkan penduduk yang tinggal diatas sungai, terpaksa lebih jauh lagi mengambil titik sumber air kedaerah lebih atas untuk dialirkan kerumah-rumah melalui pipa-pipa paralon.

Ditepi-tepi sungai ini, terdapat hutan (pepohonan alami) yang berfungsi sebagai penyangga tanah agar tidak longsor karena lerengnya yang sangat curam dan berbatu. Sedangkan di lahan selain tepi sungai, adalah ladang penduduk dengan berbagai macam tanaman. Namun yang dominan adalah pohon Kelapa, Kopi, Kakau, Pisang dan Durian.

Di sebelah desa Lumbung Kauh tepatnya di seberang sungai Yeh Aya terdapat desa Mundeh Kangin. Menurut informasi masyarakat didesa ini dulunya terdapat hutan, yang disebut sebagai hutan Anggrek atau hutan Cantel. Hutan ini masuk kedalam administrasi kepemangkuan hutan RPH Antosari. Namun hutan tersebut telah dirambah oleh sebagian masyarakat dan ditanami dengan tanaman Kopi dan tanaman lainnya. Jadi hutan yang tersisa adalah ditepi-tepi sungai tersebut.

Sangat disayangkan memang, hutan yang mempunyai ciri khas Anggreknya tersebut telah berubah menjadi ladang Kopi. Selain tanaman Anggrek yang bermacam-macam jenis (informasi masyarakat), ternyata dihutan tersebut juga merupakan habitat satwa yang sudah mulai langka (dilindungi) seperti Kijang, Macan, Harimau (?) serta Julang Emas (yang telah teramati). Julang emas sendiri merupakan satwa yang dilindungi oleh UU RI No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Serta dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.


Kondisi dan status serta penyebaran burung Julang Emas (Aceros undulatus)

Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Aves

Ordo : Coraciiformes

Family : Bucerotidae

Genus : Aceros

Spesies : Aceros undulatus (Shaw 1811)

Synonyms : Rhyticeros undulatus

Distribusi umum : India timur, Cina barat daya, asia tenggara, semenanjung Malaysia.

Distribusi di Indonesia : Sumatra, Kalimantan, Jawa dan Bali

Ekologi : Hutan dataran rendah dan perbukitan sampai ketingg 2000 mdpl.

Status : CITES – Apendik II

Status di Indonesia : Julang Emas dilindungi oleh pemerintah yang dituangkan dalam UU RI No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Serta Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Deskripsi, morfologi dan perilaku:

Julang Emas berukuran besar (100 cm), berekor putih. Kedua jenis kelamin: punggung, sayap, dan perut hitam. Jantan: kepala krem, bulu halus kemerahan bergantung dari tengkuk, kantung leher kuning tidak berbulu dengan strip hitam khas. Betina: kepala dan leher hitam, kantung leher biru. Iris merah, paruh kuning dengan tanduk kecil kerenyut, kaki hitam. Untuk membedakan Julang Emas dengan jenis rangkong lain saat terbang adalah: ekor julang terlihat putih tanpa garis, badan dan sayap hitam, leher sampai paruh putih, terdapat kantung ditenggorokan.

Suara :

Salakan ganda seperti anjing : “ku-guk”diulang ulang, pendek, parau.

Kebiasaan :

Terbang berpasangan atau dalam kelompok kecil di atas hutan, dengan kepakan sayap yang berat sambil mencari pohon buah-buahan. Sering berbaur dengan rangkong lain di pohon yang berbuah.Burung Julang dan jenis rangkong lainnya yang hidup di hutan hujan tropis umumnya bersifat frugivorous (Kemp, 1995; Leighton, 1982; Hadiprakarsa 2001) tetapi akan mengalami sedikit perubahan komposisi makanannya ketika memasuki tahap perkembangbiakan menjadi carnivorous (Kemp, 1995; Ponswad, 1986; Leighton 1983). (diambil dari MacKinnon dkk, 1998 dan Anonim, 2004)


Saran

  1. Perlu dilakukan penghutanan kembali kawasan hutan tersebut dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan dan dengan cara yang bijaksana agar tidak ada konflik antara masyarakat dengan pihak pemangku hutan.
  2. Memberi penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan hutan tersebut. Selain hutan tersebut dapat menyangga pemukiman dari bahaya longsor, banjir dsb, juga dapat menjaga ekosistem yang ada sebagai ciri khas kawasan yang tidak ternilai harganya.
  3. Menjaga semangat tradisi, kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat dalam menjaga lingkunganya.

Saran ini merupakan masukan dari beberapa masyarakat Desa Lumbung Kauh yang salah satunya adalah Kepala Desa Lumbung Kauh.

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Pelatihan Teknik dan Survey Satwa Liar di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Wildlife Conservation Society.

MacKinnon, J., K. Phillips., B. van Balen. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Penterjemah: W. Raharjaningtrah., A. Adikerana., P. Martodiharjo., E.K. Supardiyono., B. van Balen. Puslitbang Biologi-LIPI/BirdLife Internacional Indonesia Programme. Bogor.

http://rangkongs.co.cc/rangkong