Saturday, July 18, 2009

KESADARAN DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

oleh: moch saifudin

Fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini seperti banjir dan tanah longsor seakan tidak ada habis-habisnya melanda bumi tercinta ini. Kejadian semacam ini cukup menjadi bukti bahwa manusialah yang harus bertanggung jawab.Dampak globalisasi dan modernisasi cukup menjadi bukti nyata akan kerusakan-kerusakan habitat dari berbagai macam species satwa dan tumbuhan. Indonesia sebagai Megabiodiversity hanyalah akan menjadi sebuah cerita atau Lullaby song bagi generasi yang akan datang. Sistem dan politik tercampur aduk oleh kepentingan pihak-pihak pemodal tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan Humanisme sangat jelas terlihat, anehnya kenyataaan seperti ini malah kita diamkan tanpa ada usaha-asaha untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Seakan-akan kita dibutakan, dibodohi dan ketakutan untuk bersuara lantang demi sebuah kebenaran. Ini realita, dampak kerusakan habitat seperti fragmentasi hutan untuk pembukaan lahan perkebunan, perladangan, pertambangan, dan lain-lain sangat berdampak pada kepunahan berbagai macam species satwa dan tumbuhan.

Perdagangan satwa liar masih terjadi di Indonesia, hal ini akan menambah daftar panjang kepunahan berbagai species satwa. Ini menjadi permasalahan serius yang harus kita selesaikan. Peduli saja tidak cukup, tanpa adanya upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan satwa liar. Hal yang lebih mendasar adalah dimulai dari kesadaran tiap-tiap individu itu sendiri untuk tidak berburu, memelihara, memperdagangkan, mengkonsumsi dan mendukung berbagai macam produk serta kegiatan yang memakai satwa liar sebagai objek seperti sirkus satwa atau animal show. Self control menjadi peran yang sangat penting untuk dilakukan karena sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas. Alangkah memalukan apabila kita merasa lebih diakui atau dihormati karena kita memelihara satwa liar dengan dalih menyayangi mereka, pada hakekatnya kebebasan adalah hal yang mutlak bagi semua makluk hidup. Status sosial dan respek seseorang tidak diukur dari berapa jumlah satwa yang dimiliki melainkan bagaimana individu tersebut bisa menghargai sebuah kehidupan

Alangkah lebih menyenangkan dan harmonis apabila kita bisa hidup berdampingan dengan makluk hidup yang lain. Setiap species satwa maupun tumbuhan memiliki fungsi agar kehidupan dibumi ini tetap berlangsung secara alami. Tanpa dukungan dari semua pihak untuk bersama-sama menjaga, melestarikan dan melindungan satwa liar dan habitatnya maka keinginan tersebut tidak akan pernah terwujud…SALVEMOS LOS PAJAROS, SALVEMOS LOS ARBOLES, SALVEMOS EL PLANETA !!!.

Tuesday, July 14, 2009

SAAT PESTISIDA DAN KOTORAN AYAM JADI PEMBAWA MALAPETAKA BAGI SANG PEMANGSA

oleh: robithotul huda

(Membuka Catatan lama tahun 2007)
Waktu itu, hari Selasa, tanggal 03 Juli 2007 aku berada di desa Buahan, Kintamani-Bangli untuk menunaikan tugasaku sebagai observer elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) yang akan di lepasliarkan oleh PPS Bali. Kini sedang menjalani proses habituasi dikandang yang telah dibuat dengan ukuran panjang 28 M, lebar 6 M dan tinggi 8 M. dalam kandang tersebut dihuni oleh 2 ekor elang laut yaitu si Bali (betina) dan Charles (jantan).

Seperti biasanya, observasi prilaku dilakukan dari pkl. 07.00-17.00 wita. Setelah selesai observasi aku melangkahkan kaki menuju rumah tinggal sementara yaitu rumah pak Mekel (kepala desa Buahan) tempat aku menumpang (kost). Belum sampai di tempat kost, aku di cegat oleh warga. "Mas…!mas Jawa"! (panggilan orang luar Bali). " Berhenti dulu" katanya. Akupun berhenti. "Ada apa?" tanyaku. "Ada yang menemukan burung besar. Sekarang ditaruh dikandang ayam"!!! katanya.
Kemudian aku segera meluncur ketempat orang yang menampung burung tersebut. Ternyata burung tersebut adalah elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) fase gelap. Namun sayang, elang tersebut sakit. Kepalanya selalu memutar-mutar (teteloan kata masyarakat disini) dan temboloknya juga kosong. Kata Komang (nama anak yang menemukan elang tersebut), elang tersebut di temukan dipinggir jalan saat dia mencari kayu ditepi hutan. Tiba –tiba saja elang tersebut jatuh dari pohon. Awalnya Komang dan temannya takut untuk mengambilnya karena perawakan burung ini yang menurutnya seram yaitu; mempunyai kuku, paruh serta mata yang tajam. Namun karena kasihan melihat elang tersebut tidak mampu terbang akhirnya dia memberanikan diri untuk mengambilnya dan membawanya pulang.

Tanpa menunggu waktu yang lama aku dibantu masyarakat segera memberikan pertolongan pertama yaitu memberikan makanan. Karena si elang tidak mampu makan sendiri terpaksa aku suapi dengan daging yang telah ditumbuk dan diberi sedikit air. Setelah temboloknya terisi, dan kondisinya sudah mulai bagus, dapat berdiri meski agak sempoyongan aku segera melangkah pulang karena hari mulai gelap, matahari sudah tenggelam, berganti indah rembulan yang siap meninabobokkan mahluk-mahluk diurnal dan membawanya terbang ke alam mimpi.

Pagi hari aku melapor kejadian tersebut ke kantor PPS Bali. Yang kemudian memutuskan drh. I Made Winaya datang kelokasi untuk mengecek kondisi elang tersebut. Elang kemudian diambil sampel darah, feses, dan mulutnya. Dugaan sementara (dilihat secara fisik), kemungkinan elang terkena penyakit Grubug (=stilah yang dipakai oleh masyarakat setempat) atau ND (Newcastle Disease) istilah dalam kedokteran hewan. Grubug juga sudah biasa menjangkiti ayam-ayam di desa ini kata masyarakat.

Elang Brontok merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi oleh Negara yang tercantum dalam undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan oleh CITES diketegorikan dalam Appendix II. Dan PPS Bali (Pusat Penyelamatan Satwa Bali) adalah salah satu lembaga yang menampung satwa hasil sitaan maupun penyerahan sukarela oleh masyarakat untuk direhabilitasi dan kemudian dilepasliarkan lagi.
Sebenarnya elang Brontok tersebut bisa saja dievakuasi ke PPS Bali untuk menjalani perawatan, namun dengan pertimbangan untuk mengisolir penyakit yang dibawa oleh satwa tersebut agar tidak menyebar ketempat lain, maka elang tersebut tetap di taruh ditempat/kandang tersendiri disekitar lokasi. Dan jika sudah sehat maka akan segera dilepas kembali ke hutan dekat desa.

Hari ke hari elang mulai membaik dan dapat makan sendiri. Bahkan tikus yang hiduppun dia juga sudah mampu memangsanya. Namun kepalanya masih cengeran (=istilah warga lokal menyebut tetelo).
Tiba saatnya membaca hasil laboratoirum sampel yang telah diambil dari elang tersebut. Hasilnya elang tersebut memang benar positif terkena ND (Newcastle Disease)
Dan nasib tragis akhirnya menimpanya, dia mati didalam kandangnya, sebelum pertolongan lanjut dilakukan. Dan kadavernyapun dibakar agar tidak menularkan ke satwa lain maupun manusia.

Demikianlah nasib sang pemangsa yang terkenal ganas; cakar yang tajam, paruh yang kuat untuk mengoyak daging-daging mangsanya dan mata yang tajam 10 kali lipat penglihatan manusia mampu menerobos rimbun pepohonan dalam mengintai mangsa.
Ini terjadi karena ulah manusia yang telah menyebarkan racun dari pestisida berlebihan, kotoran ayam broiler yang dipakai untuk pupuk pertanian di sekitar kawasan hutan ini. Hampir seluruh desa disekitar kawasan hutan Kintamani dan sekitar danau Batur masyarakatnya menggantungkan hidup dari bertani; bawang merah, cabe besar dan kubis. Sebelum tanaman ini ditanam, petani akan memupuk lahannya dulu dengan kotoran ayam pedaging broiler yang diambil dari desa-desa terdekat. Hal ini menimbulkan bau yang tidak sedap sama sekali dan mengundang lalat dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun masyarakat sudah terbiasa dengannya. Kemudian setelah tanam pengguanan pestisida dilakukan dari mulai tanam sampai akan panen.
Inilah kemungkinan penyebab terjangkitinya penyakit pada elang Brontok tersebut. Kotoran ayam yang telah terinfeksi menjangkiti ayam ataupun burung dan ayam maupun burung tersebut dimakan oleh elang Brontok. Dan Brontokpun akhirnya terkena juga.
Terlepas dari semua itu, masyarakat desa yang agraris (mengandalkan pertanian) juga membutuhkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya yaitu dari bertani. Meski cara yang dipakai dipandang oleh mereka masih wajar karena kekurangtahuan tentang cara yang ramah lingkungan ataupun acuh karena ingin mendapatkan penghasilan yang cepat dan banyak. Begitu pula dengan elang Brontok yang mungkin karena kesulitan mendapatkan mangsa dihutan dan akhirnya memangsa ayam kampung milik warga. Keduanya sama-sama ingin mempertahankan hidupnya, ingin melanjutkan generasinya. Maka dari itu perlu saling memberikan timbal balik yang baik antara manusia dengan satwa liar demi keberlangsungan alam yang hanya satu ini.
Namun manusia adalah mahluk yang mampu berpikir, dialah yang dominant. Maka manusialah yang wajib menjaga, melindungi mahluk lainnya salah satunya adalah Elang Brontok. Demi kerlangsungan manusia itu sendiri.




Wednesday, July 8, 2009

Elang Jawa "Spizaetus bartelsi" adakah penyebarannya sampai ke Bali????

oleh: oni purwoko basuki

"Spizaetus bartelsi"Javan Hawk-eagle ato lebih akrabnya elang Jawa adalah burung pemangsa yang keberadaannya hanya diketahui di pulau Jawa (endemik Jawa). Dari banyak literatur yang ada, telah dijelaskan dengan gamblang deskripsi morfologi, perilaku, pakan, daerah penyebaran dan status burung yang menjadi inspirasi lambang republik ini.

Dari barat pulau Jawa seperti di Taman Nasional Gunung Halimun sampai ujung timur Jawa di Meru Betiri, beberapa lokasi masih diindikasikan menjadi habitat dari burung elang berjambul khas ini, walaupun itu sudah semakin jarang diketemukan keberadaannya. Kalau diluar daerah itu belum ada data yang mendukung, referensi mengenai keberadaan elang Jawa dan sebarannya diluar pulau Jawa sampai sekarang saya juga belum pernah menemukannya, walaupun dahulu katanya ada report pertemuan dengan elang Jawa di Taman Nasional Bali Barat, namun informasi tersebut dianggap kurang valid.....

Pertanyaan ini muncul dan jadi fikiran sejak bulan Juli 2005 sampai sekarang dan pertanyaan ini juga muncul berulang kali dari kawan-kawan yang memiliki perhatian yang sama tentang elang Jawa. Pertanyaan ini berawal saat kami dari Pusat Penyelamatan Satwa Bali, KSDA Bali dan beberapa kawan volunteer pada akhir bulan Juni 2005 memperoleh informasi bahwa salah seorang masyarakat dusun Munduk Langki dilereng gunung Lesung yang merupakan cagar alam dalam kelompok Hutan Batukahu (RTK 4) kab Buleleng, Bali menangkap seekor burung elang yang sering memangsa ayam masyarakat disekitar dusun itu. Keberadaan burung elang disekitar lokasi memang umum ditemui terutama untuk jenis pegunungan seperti elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) dan elang Ular Bido (Spilornis cheela) karena memang kondisi hutan didaerah tersebut masih sangat mendukung keberadaan jenis-jenis burung pemangsa.

Namun dari hasil tangkapan burung elang yang satu ini, kok beda dari jenis elang yang kita ketahui ada disekitar lokasi. Pada saat itu, kami yang sedang melaksanakan program pelepasliaran elang Bondol (Haliastur indus) di danau Tamblingan masih belum tahu pasti tentang jenis elang yang satu ini. Walaupun dari literatur yang kami lihat saat itu, mengarah kejenis elang Jawa, namun karena tidak ada referensi sama sekali tentang keberadaan elang ini di Bali kita tidak berani memastikannya. Masyarakat sekitar dusun mengatakan bahwa jenis elang ini memang sudah lama ada disekitar sana. Masyarakat bisa mengenali dari beberapa jenis elang yang berada disana dan memberikan sebutan yang berbeda untuk jenis yang berbeda pula berdasarkan bentuk maupun perilakunya. Misalnya "kekelik"untuk elang Ular Bido, "sikep" elang Brontok, "lang-lang Be" untuk elang Laut Perut Putih yang ada disekitar danau Buyan-Tamblingan dan "bulusan" untuk menyebutkan jenis alap-alap.

Dari pendekatan kepada orang yang menangkap elang tersebut, elang dapat kita bawa dan diobati karena terdapat beberapa luka lecet akibat perlakuan selama penangkapan dan dalam kandang. Janji kami pada saat itu elang akan kami lepas didaerah yang jauh dari lokasi agar tidak kembali memangsa ayam masyarakat. Secara fisik, elang tersebut dalam kondisi bagus dalam artian tidak ada tanda-tanda luka lama, bekas tali maupun hal yang mengindikasikan elang tersebut baru terlepas maupun lama dipelihara oleh orang, luka hanya akibat penanganan oleh penangkap, perilaku sangat liar dan agresif tidak mau dipegang dan cenderung mau terbang menjauh.
Setelah dilakukan cek kesehatan dan fisik, diputuskan untuk dibuatkan kandang sementara sebelum dilepaskan kembali kealam, dengan pertimbangan akan sangat berpengaruh tidak baik bagi si elang kalau terlalu lama dikandangkan dan berinteraksi dengan orang.
Dan inilah yang memang susah diprediksikan, setelah rencana pembuatan kandang selesai dilaksanakan dan tinggal memasukkan elang kekandang sementara.... elang tersebut terlepas karena kandang angkutnya nyangkut pohon.....
da-da elang...............
(dan itu sebelum kita tahu persis jenis elang tersebut)

Kepastian dari jenis elang tersebut baru benar-benar didapatkan ketika kita ketemu ama yang ahli dibidangnya yaitu Kang Zaini Rahman dari YPAL Bandung, yang bisa meyakinkan bahwa elang ini merupakan elang Jawa. Pada saat itu dicoba lagi untuk mengamati sekitar lokasi dan mencari siapa tahu ada sesuatu seperti bekas bulu atau apa yang bisa dijadikan bukti dan dasar penelitian lebih lanjut....namun udah tidak ada,...
Memang pertanyaan diotak sampai saat ini adalah benarkah burung elang Jawa tersebut asli ada dihutan sekitar cagar alam Batukahu tersebut..... dan Bali menjadi daerah yang menjadi habitat elang Jawa, atokah burung elang tersebut merupakan burung terlepas dari peliharaan ato memang sengaja dilepas didaerah hutan cagar alam Batukahu????????????

April 2008, saat saya masih sering kluyuran ke Tamblingan untuk melakukan monitoring paska beberapa pelepasliaran elang disana, saya masih mendapatkan informasi keberadaan elang Jawa tersebut dari beberapa masyarakat, terutama yang sering pergi keluar masuk hutan disekitar gunung Lesung yaitu sekitar goa Nagaloka.....
Hal yang menarik untuk ditindaklanjuti, bagi saya itu juga kaya utang yang masih harus saya carikan jalan, bagaimana cara nglunasinya..... karena tiap ada teman yang nanya lagi masalah itu, saya cman bilang nga tau.....!!! gimana cerita sebenarnya.

Bulan April 2009 ini, saya nambah bingung lagi karena ada satu lagi elang Jawa yang diserahkan masyarakat ke KSDA Bali, dan ini dari wilayah sekitar pantai Kuta,.... info yang saya dapatkan bahwa elang tersebut ditangkap oleh petugas hotel di Kuta (saya tidak memperoleh nama tempatnya) karena kedapatan jatuh setelah nabrak bangunan hotel dan kemudian diserahkan kepetugas KSDA. Aneh kan..... lepasankah? terlepaskah? ato memang tinggal disitu...(he3x..). Itu saya juga cman bisa bilang nga tau.....!!! Skarang elang Jawa hasil penyerahan masyarakat itu masih mampir di Bali Bird Park Gianyar, entah sampai kapan...??? mudah-mudahan bisa bisa cepat mengepakkan sayapnya dialam bebas kembali...

(Dua kunjungan terakhir saya di Tamblingan, akhir bulan Mei 2009 dan kemaren tanggal 1 Juli 2009..... saya masih mencari informasi dari masyarakat tentang keberadaan elang Jawa tersebut, dan beberapa orang masih sempat bertemu terutama didaerah lereng hutan diatas enclave Tamblingan. Dari keterangan yang saya dapat memang warna bulunya sudah berubah menjadi burik 'garis-garis' jelas dibadannya, sudah tidak coklat kayu manis lagi, namun jambul khasnya yang tidak terlupakan itu menjadi penanda jelas bagi elang ini..... apalagi memang hanya satu individu ini saja yang sering terlihat oleh mereka........ adakah individu elang Jawa lainnya disini...???????????)












Monday, July 6, 2009

“Merambah” Kawasan Hutan di sekitar danau Batur, Kintamani – Bangli

oleh: robithotul huda

Bulan Juni 2007 PPS Bali mengada
kan program realease dua ekor elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) di kecamatan Kintamani, tepatnya di desa Buahan. Desa Buahan berada di bibir sebelah selatan danau Batur dan merupakan salah satu desa dari 7 desa yang terletak di sekitar danau Batur. Ke enam desa lainnya adalah desa Kedisan, desa Songan A, desa Songan B, desa Abang, desa Abang Batudinding dan desa Trunyan. Desa-desa disekitar danau Batur, dikelilingi oleh perbukitan yang berderet membentuk lingkaran kawah dengan puncak tertinggi gunung Abang dan gunung Batur. Menurut para ilmuwan, danau Batur dulunya kemungkinan adalah kawah (caldera) yang kemudian tidak aktif lagi.

Realease atau pelepasliaran s
atwa di desa Buahan merupakan yang kesekian kali dilakukan oleh PPS Bali yang bekerjasama dengan BKSDA, koran Bali Post dan desa Buahan. Sebelumnya PPS Bali telah melakuakn pelepasliaran di danau Buyan – Tamblingan, Buleleng dan gunung Batukaru di Tabanan. Sebelum pelepasliaran dilakukan, perlu dilakukan survey habitat dan potensi pakan yang ada untuk memastikan bahwa setelah dilepasliarkan, satwa yang dilepas akan mampu bertahan hidup di habitat barunya.

Survey dilakukan bersama dengan masyarakat lokal desa Buahan. Hal ini dilakukan karena masyarakat lokal telah menguasai medan serta mengenal nama-nama lokal baik tumbuhan maupun binatang yang berada disekitar kawasan
Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan yang akan dijadikan lokasi pelepasliaran dan akan menjadi habitat baru satwa yang akan dilepasliarkan. Dengan demikian data akan lebih mudah didapat meskipun masih menggunakan nama lokal. Metode yang digunakan dalam survey adalah rappid assessment (penilain cepat). Sedangkan lokasi yang disurvey meliputi kawasan taman wisata alam Penelokan sampai ke hutan lindung gunung Abang serta yang tak kalah pentingnya adalah pakan (ikan) yang ada di danau Batur.

Dari hasil survey diketahui jenis tumbuhan yang dominan dikawasan Taman wisata alam Penelokan antara lain adalah jenis Ampupu Eucalyptus urophylla (dominan disekitar jalan “hasil reboisasi setelah terkena dampak letusan gunung Agung”), Sapen Engelherdia spicata, Cemara Gunung Casuarina junghuhniana, Pinus Pinus merkusii dan Puspa Schima noronhae.

Dari pengamatan, satwa dari jenis burung yang ditemukan (64 jenis) antara lain : Kepudang Kuduk Hitam Oriolus chinensis, Cica Kopi Melayu Pomathorinus montanus, Kirik-kirik Senja Merops leschenaulti, Kowak Malam Kelabu Nycticorax nyctic
orax, Kuntul Kerbau Bulbulcus ibis, Blekok Sawah Ardeola speciosa serta Merbah Cerucuk Pygnonotus goiavier yang sangat banyak sekali karena mudah beradaptasi dengan lingkungan hingga mengakibatkan jenis pemakan biji lainnya kalah bersaing dan tersingkir dari wilayah ini. Burung-burung pemangsa atau raptor juga masih banyak terlihat antara lain : elang Ular Bido Spilornis cheela, elang Hitam Ictinaetus malayensis, elang Brontok Spizaetus cirrhatus, elang Laut Perut Putih Haliaeetus leucogaster, elang Alap Cina Accipiter soloensis, elang Alap Nipon Accipiter gularis dan Alap-alap Sapi Falco moluccensis.

Satwa lain yang ditemukan antara lain adalah Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis (banyak sekali kelompok dan sering menggagu tanaman diladang masyarakat atau dianggap hama oleh masyarakat), Lutung Jawa Trachypithecus auratus, Kucing Hutan Fellis bengalensis, serta Landak Hystrix branchyura.
(data lengkap jenis flora dan fauna Kintamani bisa di download disini)

Dari data yang diperoleh
dapat dismpulkan bahwa ekositem yang ada dikawasn ini masih tergolong normal yaitu dengan adanya produsen serta predator. Akan tetapi perambahan hutan secara langsung (pencurian kayu, perburuan burung dan satwa lain) dan tidak langsung (penanaman Rumput Gajah dan Kaliandra) yang dapat mematikan tanaman asli hutan serta penggunaan pestisida yang berlebihan di ladang sekitar kawasan hutan lambat laun akan mengakibatkan penurunan kualitas ekositem yang ada. Untuk itu perlu adanya kesadaran bersama oleh masyarakat serta kontrol oleh pihak yang berwenang terhadap kawasan TWA (BKSDA ) agar kondisi kawasan tetap terjaga kelestariannya.