Monday, December 13, 2010

Para “Petani” huTan (PPT)

Manakah yang lebih dulu ada, tetumbuhan atau peBURUNGan....??

Barangkali kita akan berfikir dua atau bahkan berkali-kali jika mau menanam Juwet (syzygium cumini), Paitan (Titonia sp) sejenis tanaman perdu yang bukan main pait rasanya, Kerasi (Lamtana camara) raja belukar dataran rendah yang sampai saat ini belum layak kita konsumsi bahkan sekepepet apapun situasinya atau Ciplukan (?) tumbuhan merambat dengan buah sebesar kelereng dengan rasanya yang manis menjadi tanaman pokok di ladang kita. Lantas siapa penebarnya? Wajar mereka adalah sekian dari tumbuhan yang terpinggirkan karena alasan ekonomis. Belum pernah terdengar kisah sukses seorang petani dengan sengaja berkebun juwet, paitan, ciplukan, kalau kerasi sudah ada gak ya...? Mungkin taman, itupun tak lebih hanya sebagai penghias restoran, villa, hotel atau hunian elite lainnya.

Friday, November 19, 2010

JERITAN ALAS KLOTHOK

Oleh: Andry X-san




Saat itu mendung masih menggelayuti langit kota ini, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.


Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu….!!!


Maaf karena harus seperti ini

Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup seger-waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi edan.


Maafkan saya

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang juga ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu yang katanya “Khalifah pengayom bumi.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup bebas, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.


Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah sangkar sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.


Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu

Hidup lepas…, layaknya kepak sayapku yang ingin terbang bebas dan dendangkan kicauanku saat hujan atau pun panas.

Hidup seutuhnya..., seperti ujung rantingku yang selalu menantang matahari dan akarku yang jauh menghujam pusaran bumi.

Hidup bahagia…, bersama kerabatku dan tak lagi kalian buru untuk sekedar menjadi bahan pelengkap koleksimu.

Hidup aman…, di hutan dengan anak-cucuku yang lucu, bukan di taman bermain tempatmu melampiaskan obsesi dan kegilaanmu.


Jadi tolong biarkan saya menjadi diri sendiri….


Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Biarkan saya berpetualang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun. Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya bersua dengan separuh kerabat saya yang telah lama terkungkung.


Tolong biarkan saya hidup. Itu saja….


Salam penuh cinta,



-------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------

Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan? Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, lalu mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk menguasai dan duduk di singgasana.” (Emha Ainun Nadjib).

--------------------------------------------------------------------------------------

-------------------------------------------------------------

Thursday, November 18, 2010

“I'am NOT a SEXY BIRD” (Refleksi Citra Dalam Sebuah Peradaban)

Oleh: Andry X-san

Genap setengah bulan sudah saya menjejakkan kaki di kota ini. Sebuah kota kecil bernama Kediri. Maklum kota yang dulu pernah membesarkan saya, kini telah menjelma menjadi kota modern. Kota yang sedang menggeliat dari tidur panjangnya. Bangunan raksasa dan taman hiburan berskala besar seakan saling bersaing menunjukkan eksistensinya.

Dan saya semakin tenggelam di dalamnya.

Sepanjang perjalanan saya hampir tidak dapat menemukan mereka. Yaa…, mereka adalah teman-teman saya. Jujur hari ini saya begitu kangen dengan mereka. Pada hal dulu, hanya dengan melongok di teras kost-an maka setidaknya saya masih bisa menikmati indahnya tarian ekor Kipasan Belang, riuh rendahnya canda Kutilang dan Cerucuk, decitan manja Burung penghisap madu dan “Prinia Perenjak serta puluhan Burger (sebutan saya untuk Burung Gereja Erasia red.) dan barisan laskar Bondol mulai dari Bondol Jawa, Bondol Haji dan Bondol Peking. Semuanya bisa saya nikmati dengan gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Namun di sini…, saya harus membayar mahal untuk melihatnya.

Kata orang mereka bukan termasuk burung yang sexy. Haaah…, sexy?! Lalu saya pun coba menerka apa sebenarnya parameter ke-SEXY-an seekor burung? Bulunya yang indah kah, suaranya yang merdu kah atau gerakkannya yang lincah kah? Jika label-lebel ini telah terpatri layaknya wing marker yang menempel di sayap mereka, lantas orang bisa memburu mereka seenaknya? Kalo sudah begitu maka jangan menyesal kawan jika beberapa tahun ke depan Emprit akan punah dan tinggal mitos belaka. Apa yang dicap kontroversial pada satu masa akan menjadi fosil pada masa yang lain. Apa yang kita anggap sexy disuatu abad akan berubah menjadi ugly di abad-abad selanjutnya. Dan apa yang sekarang kita tanggapi dengan cengangan dan banjur kekaguman, cepat atau lambat, akan kita lewati dengan perasaan gersang.

Selalu ada lebel-label pen-Citra-an yang harus menempel pada suatu hal yang hanya akan mengakibatkan bergesernya tradisi dan nilai-nilai luhur. Karena inilah orang sering bilang bahwa hidup itu dinamis. Seperti kasus melambungnya harga underwear hanya karena lebel tersebut sering dipakai oleh selebritis dunia seperti Marlin Monroe, Madonna, Jenifer Lopez dan lainnya. Mahalnya harga sepatu-sandal yang pada hal fungsinya sebatas alas kaki agar kaki tidak menginjak taik. Dan jangan kaget bila besok ketika bangun tidur kita dapati harga jarum melambung tinggi tak terbeli hanya karena merek tersebut menjadi nge-trend lantaran sering dipakai Ki Joko Bodho untuk nyantet orang. Hahahahahahahaaa…..

Bukan itu saja kawan, simak baik-baik. Perempuan yang merasa terancam oleh keriput lantas berperang melawan penuaan dengan serum dan botox. Perempuan yang percaya bahwa citra lebih putih berarti lebih cantik akan berperang melawan melaninnya dengan krim pemutih. Melihat mereka yang lebih sukses dan lebih berpengaruh, kita lantas bertempur dengan keinginan dan hasrat untuk ikut lebih dan lebih lagi. Setiap hari kita dijajah oleh pancaran citra, keinginan baru, harapan baru, dan timbullah konflik baru dari lebel-lebel yang sebenarnya kita sendirilah yang menempelkannya. Lalu, siapakah pahlawan yang kita harapkan untuk perang tak berkesudahan ini? Saya yakin dalam setiap peralihan posisi bandul, akan selalu ada kawanan ‘martir’ dan ‘pahlawan’ yang muncul. Tapi siapakah gerangan mereka?

Saya yakin akan ada letupan nama-nama di benak Anda, dari mulai Janis Joplin, Jonathan Davis-nya Korn sampai dengan Nietzsche dan Heidegger. Pada citra mereka itulah ditanamkan representasi kita terhadap gerakan resistensi heroik melawan rambu normalitas ataupun mainstream. Jangan heran kalau label absurditas dan abnormalitas kini bukan lagi celaan, melainkan klaim pujian dan simbol keberanian.

Namun bagaimana kalau saya tawarkan sosok yang lebih mencengangkan lagi? Ambillah cermin. Berkacalah di sana. Detik pertama pikiran Anda mulai merumuskan bayangan yang muncul, detik itu juga Anda menemukan sang ‘pahlawan’. Anda adalah partisipan yang tidak kalah penting dalam proses perubahan wajah dunia. Terlepas dari Anda seseorang yang melek budaya, seorang apatis sejati, atau seorang korban mode.

Bercerminlah sekali lagi. Lebih dalam. Seberangilah bayangan fisik yang muncul, dan bedahlah tumpukan image yang selama ini telah membentuk Anda. Sesuatu yang telah membuat Anda memilih celana kargo, tas ransel, T-shirt band favorit, parfum tertentu, model rambut, CD kesukaan, hobi birdwatching, sampai cara berjalan. Citra apa yang tengah Anda perankan? Apakah sudah cukup keren? Cukup trendi? Cukup cool? Ketika ditanya demikian, kebanyakan dari kita bakal menjawab, “Ah, gue sih asik-asik aja.” Dan ketika dicecar lagi dengan pertanyaan ‘kenapa’, jawabannya adalah “Nggak tahu. Pokoknya suka aja."

Memang menolak dunia citra ini adalah usaha yang melelahkan dan butuh perjuangan panjang. Pulau Jawa tanpa citra ke-jawen-nya hanyalah segumpal tanah tak bernama. Indonesia tanpa citra adalah konstelasi pulau anonim. Adalah citra yang otomatis menghadirkan batas, rambu, penilaian, bla-bla-bla...., yang lalu diimajenansikan dalam realitas ini. Jadi, siapakah gerangan bayangan cermin yang Anda lihat tadi? Siapakah Anda sesungguhnya? Siapakah saya? Apakah realitas ini? Adakah sesuatu yang benar-benar sejati?

Citra memang membius. Citra bagaikan makhluk yang menuntut untuk terus diberi makan. Citra mengonsumsi perhatian kita. Detik demi detik. Nyaris tak memberikan kesempatan untuk bertanya. Akan tetapi, sama halnya dengan lambung, ada baiknya juga citra ‘berpuasa’ sekali-sekali. Ketika kita menjadi penonton yang berjarak, maka kita bisa memberi jeda sebentar pada diri kita. Tidak melulu menjadi obyek desiring machine (mesin hasrat). Kalau Anda beruntung, tentu saja. Tidak ada yang pasti di sini. Yang jelas, hidup rasanya mubazir apabila cuma terus menerus memberi makan pada mesin hasrat yang tak nyata.

Namun bercermin dan membedah refleksinya terkadang dapat menyelamatkan kita dari konflik superfisial yang tak perlu, seperti menghakimi teman yang tidak se-genre, berpusing-pusing menariki batas sana-sini dan bertingkah seperti satpam penjaga portal, karena seperti apakah sebenarnya Normal? Adakah kenormalan sejati? Adakah keabnormalan? Jangan-jangan semuanya adalah jajaran citra yang ingin diberi makan. Tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada yang lebih buruk.

Jadi setiap kali Anda bercermin, coba tembusilah tiap tingkap lapisan citra yang membungkus Anda selama ini. Realitas yang lebih segar mungkin akan muncul. Tepatnya, realitas yang lebih riil. Apa adanya..., hingga yang ada tinggal tiada. Dan mari kita tercengang bersama...


* Satu lagi artikel yang terinpirasi dari teman-temanku yang tlah terlupakan (kawanan burung yang tidak seksi). Terima kasih teman, hari ini saya telah bercermin melalui kalian...










































































































































Monday, November 15, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 (part III-Selesai)

Oleh: Andry X-san

Tak terasa satu bulan telah terlewati. Menengadah, memandang birunya langit, putihnya awan dan titik-titik hitam yang lambat laun menjadi silhouette bentangan sayap dan tubuh puluhan burung raksasa. Kulit kami pun yang tadinya putih berseri kini menjadi hitam kusam tersengat teriknya matahari Bali. Ribuan peluh yang membasahi t-shirt kami pun sepertinya baru kemarin sore kering. Namun sekarang, semua terbayar LUNAS sudah…..

Dalam rentang waktu tersebut kami mencatat sebanyak 27.142 Raptor Migran yang melintasi Gunung Sega, Karangasem-Bali. Namun kalo boleh jujur, sebenarnya pengamatan ini pun kami lakukan tidak genap satu bulan penuh atau lebih tepatnya hanya 23 hari selama bulan Oktober ini.

Kemunculan Raptor Migran pertama yang teramati oleh rekan kami Pak Dono Waloyo tercatat tgl 6 Oktober 2010. Saat itu raptor migran yang melintas adalah 1 Accipiter soloensis, 1 Pernis ptilorhynchus dan 1 Falco peregrinus. Ini sekaligus merupakan catatan lintasan Raptor Migran dengan jumlah paling sedikit selama bulan Oktober. Tanggal 1 - 5 Oktober dan tanggal 7 - 9 Oktober 2010, cuaca di Gunung Sega hujan deras dan berkabut. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan bagi kami untuk melakukan pengamatan. Sedangkan record terbanyak yang kami dapatkan yaitu tanggal 25 Oktober 2010 dengan total 3.659 yang terdiri dari 2.316 Accipiter soloensis, 561 Pernis ptilorhynchus, 5 Accipiter gularis dan 777 raptor migran yang tak teridentifikasi.

Secara keseluruhan selama bulan Oktober ini Accipiter soloensis tetap mendominasi jumlah raptor migran yang melintas (17.724) disusul oleh jenis raptor yang tak teridentifikasi (6.326) lalu Pernis ptilorhynchus (2.920), Accipiter gularis (118) dan yang terakhir adalah Falco peregrinus (52). Berdasarkan data yang telah kami record, titik puncak migrasi raptor bulan Oktober 2010 terjadi pada tanggal 25 Oktober dimana pada hari tersebut kami mencatat 3.659 raptor migran melintas.

Catatan menarik lainnya adalah dijumpainya 9 individu elang aneh ini terlihat terbang dalam satu koloni pada tanggal 31 Oktober 2010 yang kami perkirakan adalah jenis Elang Setiwel (Hieraaetus pennatus). Namun hal ini masih menjadi perdebatan yang panjang dikalangan pengamat Raptor. Sebagian pihak berpendapat bahwa elang yang kami “curigai” sebagai Elang Setiwel tersebut tak lain tak bukan adalah Elang Laut perut Putih (Haliaeetus leucogaster). Kecurigaan kami memasukkan elang ini dalan jenis Elang Setiwel bukannya tanpa dasar. Hal lebih dikarenakan hampir tidak ada laporan catatan Elang Laut Perut Putih resident di wilayah Gunung Sega ini. Adapun elang resident di daerah ini adalah Elang Ular Bido (Spilornis cheela). Berdasarkan pengakuan Pak Dono, memang dulu pernah terlihat Elang Laut Perut Putih melintas daerah ini, namun itu pun jumlahnya hanya 1 ekor dan bukan saat migrasi seperti sekarang ini. Sedangkan saat pengamatan kemaren, 9 individu elang aneh ini membentuk satu koloni tersendiri lalu bergabung dengan elang migran berukuran besar lainnya seperti Pernis ptilorhynchus. Koloni elang ini sempat soaring diatas menara stasiun relai TVRI (tepat diatas tempat kami melakukan pengamatan red.) dan setelah itu terlihat gliding menyeberangi selat Lombok. Saat itu jarak elang dengan kami hanya sekitar 10-15 m. namun berhubung kamera yang kami gunakan hanya sebatas kamera SemiPro maka hasil gambarnya pun tidak bisa maksimal.

Selain fakta-fakta yang tertera di atas, dugaan kami juga diperkuat oleh beberapa catatan pengamatan migrasi raptor tahun sebelumnya dimana pada tahun 2005, Raptor jenis ini (Elang Setiwel) terlihat melintasi Gunung Sega pada tanggal 22,26,27,28 Oktober 2005 dan 2,5,11,15 November 2005 (Dono dan Germi, 2005). Ditambah lagi pada migrasi raptor tahun 2006 dijumpai 9 ekor elang jenis ini namun oleh pak Dono saat itu dimasukkan kedalam jenis elang yang tak teridentifikasi. Ditambah lagi beberapa literatur seperti SKJB-nya MacKinnon dkk. dan Panduan Lapangan Identifikasi Raptor Migran di Indonesia oleh Wisnu Sukmantoro menyebutkan bahwa Elang Setiwel merupakan elang yang mempunyai penyebaran yang spesifik yaitu ini hanya dapat dijumpai di Sumatra dan Bali.

Itulah beberapa fakta di lapangan yang menyebabkan kami berkesimpulan bahwa elang aneh ini adalah jenis Elang Setiwel (Hieraaetus pennatus). Taruhlah ini adalah hipotesa pertama. Namun kami sama sekali tidak beranggapan bahwa kesimpulan kami ini benar secara mutlak. Karena andaikata kesimpulan kami salah, maka kita baru saja menjadi saksi fenomena langka abad ini dimana 9 individu Elang Laut perut Putih (Haliaeetus leucogaster) yang selama ini kita amini bersama sebagai jenis elang resident yang sekarang telah berubah menjadi elang yang mempunyai kebiasaan bermigrasi. Taruhlah ini adalah hipotesa ke dua. Dan setelah itu kita akan ber “pusing-pusing ria” untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mengiringi hipotesa ke dua seperti:

  1. Apakah jenis elang ini akan dimasukkan ke dalam jenis elang Vagran, Migran atau tetap menjadi elang resident?

  2. Jika memang elang ini bermigrasi maka dari manakah asal elang tersebut?

  3. Jika elang ini mengalami migrasi parsial berarti ada penyebabnya, apakah penyebab elang tersebut harus bermigrasi? Apakah karena perubahan iklim di wilayah asal misalnya, atau karena fase breeding yang harus menyebabkan elang ini bermigrasi, atau malahan ada faktor “X” lain yang belum kita ketahui bersama?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya akan selalu menghantui kita selama kita belum bisa memecahkan teka-teki dari hipotesa ke dua. Bagaimana dengan pendapat teman-teman lainnya? Namun apa pun pendapat teman-teman tentang “burung aneh ini, saya rasa hal tersebut akan semakin memperindah khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia.

Inilah sekiranya sekelumit cerita yang bisa kami bagi untuk teman-teman Raptorian semuanya. Selanjutnya PR terbesar telah menanti kami yaitu Pemetaan jalur balik Migrasi Raptor di Bali yang dari dulu belum terselesaikan dengan baik. Mohon doa dan dukungan rekan-rekan semua agar “Pekerjaan Rumah” kami yang tlah lama terbengkalai ini bisa cepat terselesaikan.


Salam Lestari



NB: Berikut ini kami sertakan juga foto-foto Raptor Migran yang sulit kami identifikasi.


















Monday, October 25, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 part II

Oleh: Andry X-san

Monitoring raptor migran di gunung Sega memasuki minggu ke dua masih mencatat hasil yang mencengangkan. Selama rentang waktu 6 hari pengamatan (sejak tgl 18-23 Oktober 2010), tercatat sebanyak 9.066 raptor migran yang melintas di kawasan ini (data tersaji dalam diagram lingkaran red.). Terdapat kenaikan signifikan terhadap jumlah raptor migran yang melintas bila dibandingkan dengan pengamatan minggu sebelumnya (tgl 12-17 Oktber 2010) yang hanya berjumlah 5.273. Dari jumlah tersebut pencatatan terbanyak terjadi dalam rentang waktu antara pkl. 11.00-12.00 Wita (data tersaji dalam diagram batang red.). Hal ini lebih disebabkan oleh faktor cuaca dimana pada jam-jam inilah biasanya kabut sudah mulai menghilang, cuaca cerah dengan intensitas tutupan awan kurang dari 5% dan skala hembusan angin berkisar antara 8-15 km/jam.

Sementara 4 besar kelompok raptor migran antara lain: Accipiter soloensis, Accipiter gularis, Pernis ptilorhynchus dan Falco peregrinus masih mendominasi arus migrasi pada minggu ini. Sedangkan tingginya jumlah raptor migran yang tidak teridentifikasi kebanyakan dikarenakan saat melintas raptor migran berada jauh dari pengamat. Biasanya elang-elang ini menggunakan jalur dari arah kanan Gunung Agung. Jalur ini sering kali digunakan raptor migran saat minimnya angin yang berhembus dari arah barat daya. Bila kondisi ini terjadi maka pengamat sering kali kesulitan untuk mengidentifikasi raptor yang melintas karena raptor migran ini akan berbelok menuju balik punggung bukit Bagas atau bukit Lempuyang (rincian tiga jalur besar lintasan raptor migran di Gunung Sega bisa ditemukan ditulisan berjudul “Lelaki itu bernama: DONO WALUYO” dan "Bali Raptor Watch 2010 Part1"

Jumlah terkecil raptor migran yang kami catat adalah tgl 22 Oktober 2010. Dimana kami hanya mendapati 190 raptor migran yang melintas. Semua ini adalah jenis Accipiter soloensis. Selama hari itu cuaca mendung berkabut dengan skala angin berkisar antara 0-3 km/jam. Sedangkan pencatatan dengan jumlah terbanyak terjadi pada tgl 21 Oktober 2010 yaitu sejumlah 2.587 raptor migran yang melintas di kawasan ini. Jumlah tersebut terdiri dari: 1.371 Accipiter soloensis, 148 Pernis ptilorhynchus, 1 Accipiter gularis, 1 Falco peregrinus dan 1.066 raptor migran yang tak teridentifikasi.

Bagaimana dengan pengamatan yang teman-teman lakukan? Apakah sama dengan kondisi yang terjadi di Gunung Sega, Karangasem-Bali? Besar harapan kami agar data-data ini bisa menjadi bahan perbandingan untuk membantu menerangkan secara lebih mendalam tentang fenomena raptor migran yang terjadi saat ini. Least but not last, untuk teman-temanku di seluruh penjuru planet ini, selamat melakukan pengamatan Raptor Migran. Semoga apa yang kalian lakukan bisa menjadikan wajah bumi ini berseri kembali… Amiin.



Salam Lestari,


Sunday, October 24, 2010

Lelaki itu bernama: DONO WALUYO (Catatan Harian Bali Raptor Watch 2010)

oleh: Andry X-san

Dono Waluyo, atau biasanya sering kami panggil dengan sebutan Pak Dono. Pria kelahiran Pemalang, 4 Oktober 1962 ini beberapa tahun silam telah mempersunting istri bernama Nur Ayu Apsari dan sampai sekarang telah dikaruniai dua orang anak bernama Nur Kintani Lisan (18 tahun) dan Agung Mukti Raharjo (10 tahun). Ditengah kesibukannya sebagai Staff stasiun TVRI Gunung Sega sejak tahun 2000, beliau selalu menyempatkan diri untuk melakukan monitoring Raptor Migran yang kebetulan melewati menara stasiun tempat ia bekerja.

Menurut penuturan beliau, kegiatan ini telah dilakukannya sejak tahun 2005 bersama Fransisco Germi. Germi sendirilah yang mengajarinya cara menggunakan binokuler sampai dengan cara mengidentifikasi elang-elang migran yang melintas di kawasan Gunung Sega. Pria yang lekat dengan jumper putihnya yang kusam dan kaca mata hitam saat pengamatan ini memang tidak punya basic sebagai Ornithologis, maklum dia dulunya jebolan mahasisiwa lulusan D1 tehnik Elektro. Walaupun begitu, kami sempat dibuatnya terbengong-bengong menyaksikan kejelian dan keakuratannya dalam mengidentifikasi raptor migran. Bahkan ia sekarang telah piawai memainkan fokus lensa Bushneil kaliber 8x45, satu-satunya senjata pengamatan yang ia warisi dari Germi. Awalnya ia menggangap kegiatan monitoring Raptor Migran ini sebagai kegiatan iseng-isengan atau sekedar untuk mengisi waktu luangnnya. Namun lambat laun ia merasa ketagihan. “Saya koq seneng ya mas ngamati burung ini. Rasanya ada yang kurang mas kalau saya ‘ndak melakukan pengamatan ini, seakan sudah jadi tanggung jawab moral pada hal kalo’ saya ‘ndak melakukan pengamatan ini kan juga ‘ndak pa-pa”, begitu tuturnya.

Pengamatan raptor migran ini telah dilakukannya sejak tahun 2004, namun saat itu ia sekedar belajar dasar-dasar pengamatan. Berlanjut tahun 2005, Pak Dono yang saat itu masih dipandu oleh Germi melakukan pengamatan secara rutin. Dalam periode tersebut tercipta rekor pencatatan mencapai 91.323 raptor migran yang melintasi kawasan Gunung Sega. Kemudian ditahun 2006 sampai dengan sekarang ia mulai mandiri, melakukan pengamatan sendiri tanpa di temani oleh Germi. Paling-paling sesekali bila kami punya waktu luang, kami menemani pak Dono untuk monitoring raptor migran. Sifatnya yang sederhana dan senyum ramah yang tak pernah hilang dari wajahnya senantiasa membuat kami kerasan dan kangen untuk melakukan pengamatan bersama beliau lagi.

Sambil menyulut rokok Gudang Garam filter kegemarannya, ia menjelaskan secara runtun pengalamannya selama 6 tahun mengamati raptor migran. Katanya, perbedaan yang paling mencolok adalah semakin berkurangnya jumlah raptor migran yang melewati Gunung Sega ini. Sedangkan untuk jenis raptor migran yang melintas dari tahun ke tahun masih tetap didominasi oleh empat kelompok besar yaitu Elang Alap Cina (Accipiter soloensis), Elang Alap Nipon (Accipiter gularis), Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) dan Alap-alap Kawah (Falco peregrinus). Terdapat tiga jalur besar raptor migran yang dapat terpantau dari spot ini. Yang pertama, jalur dari sebelah kanan Gunung Agung. Raptor dari arah ini akan melintas di atas daerah Tirtagangga dan kemudian menyeberang melewati selat Lombok. Jalur yang ke dua adalah jalur dari arah Bebandem melintasi Abang. Jika hembusan angin bagus, di daerah Abang ini lah biasanya raptor migran melakukan ativitas soaring. Di jalur ini pula lah kita biasanya sangat mudah untuk mengidentifikasi jenis raptor migran yang melintas. Dan jalur yang terakhir adalah jalur dari sebelah kiri Gunung Agung. Raptor migran yang mengambil jalur ini akan berbelok dan soaring di daerah Culik lalu melintas di atas Gunung Bagas yang kebetulan berada di sebelah kiri shelter pengamatan kami.

Selama pengamatan, Pak Dono mencatat pukul 10.00-14.00 Wita adalah rentang waktu yang ideal untuk melakukan pengamatan di daerah ini. Maklum, faktor non-teknis seperti tutupan kabut, mendung dan hujan sering kali menjadi faktor penghalang saat pengamatan. Bila hembusan angin bagus, yaitu angin yang berasal dari arah Barat Daya dengan kisaran kecepatan 5-15 km/jam, ditambah lagi cuaca cerah dengan tutupan mendung yang hanya sebatas 5% maka dijamin kita akan puas melihat raptor migran melintas tepat di hadapan kita dengan mata telanjang, tanpa menggunakan bantuan binokular.

Konon katanya menurut penuturan lelaki berzodiak Libra ini, dulu ketika beliau masih kecil, burung-burung ini (raptor migran red.) digunakan sebagai pertanda bahwa musim panen dan musim berlayar mencari ikan telah tiba. Bahkan dulu anak-anak kecil mempunyai nyanyian khas untuk menyambut datangnya raptor migran ini.

Tepung lumbung dhowo ulo-ulo,

anake lungo ngentrung, bapake lungo njolo”

Begitulah sepenggal syair yang dinyanyikannya, yang artinya Tepung lumbung: burung-burung kecil yang melayang di angkasa bagai tepung di lumbung (tempat untuk menyimpan hasil panen seperti beras, jagung, gandum dll.). Dhowo ulo-ulo: berjajar memanjang seperti Ulo (ular). Anake lungo ngentrung: anaknya bermain kentrung (di Jawa dikenal sebagai alat musik semacam gitar kecil berdawai empat). Bapake lungo njolo: ayahnya pergi “Njolo atau pergi menjala mencari ikan.

Lalu sambil diselingi canda khasnya, kembali ia mengisahkan suka duka selama mengamati raptor migran di tempat ini.

Tak terasa kopi yang ia suguhkan sudah habis kami teguk bersama-sama. Kabut pun mulai turun menyelimuti Gunung Sega. Kami beranjak pamit pulang walau kami tau hati ini sebenarnya berat dan pengen lebih lama lagi tinggal di tempat ini bersama beliau. Tapi apalah daya kami…, kami juga harus melanjutkan pekerjaan agar dapur rumah kami bisa terus mengepul. Akhirnya pria dengan sorot mata sendu ini berpesan pada kami: “Hati-hati di jalan lho ya. Ga usah ngebut-ngebut, kalo udah nyampek rumah sms yaa…”. Dan kami pun bergegas pulang dan sekali lagi meninggalkan dia sendiri……

Itulah sepenggal oleh-oleh kami dari Gunung Sega tahun ini. Kisah hidup yang menginspirasi kami semua. Sudah selayaknya kita bercermin dari sosok seperti Pak Dono. Kerutan di dahi dan warna legam kulitnya karena terpanggang terik matahari setelah sekian lama pengamatan seolah menjadi relief bisu kegigihan tekadnya. Walaupun berbekal binokuler yang lensanya sudah ditumbuhi jamur, tak pernah sekalipun mengendurkan semangatnya untuk melakukan pengamatan setiap hari. Kaca mata hitam, topi merah dan jumper lusuh yang senantiasa ia pakai saat pengamatan seakan ikut menjadi energi pembakar semangat kami untuk sebisa mungkin melakukan hal yang terbaik bagi bumi ini. Pak Dono hanya berharap khalayak umum lebih banyak tahu tentang adanya lintasan raptor migran ditempat ini. Sukur-sukur kalo ada pihak “yang berkompeten” memberikan perhatian yang serius tentang fenomena langka ini. Beliau juga punya cita-cita agar kelak ada yang mewarisi kegiatan monitoring raptor migran ini, minimal dari anaknya sendiri. Sungguh harapan serta cita-cita yang sederhana, tidak muluk-muluk. Dan jika ditanya mau sampai kapan mengamati raptor ini, beliau hanya menjawab singkat: “Sampai saya masih sanggup untuk melakukannya….”.


Salam hijau untuk bumi yang kian memerah,



= There’s a hope on every fright, and there’s a light on every night =