Wednesday, October 20, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 part I

oleh: Andry X-san



Gunung Sega terletak di kabupaten Karangasem, Bali. Sekitar 2,5 jam perjalanan dari kota Denpasar. Satu dari deretan pegunungan yang membentang di belahan timur pulau Bali. Lokasi ini berdekatan dengan pura Lempuyang yang merupakan salah satu dari tujuh pura besar di Bali. Shelter pengamatan kami pun boleh dibilang mudah untuk dijangkau kendaraan bermotor. Hanya saja jalannya agak menanjakdan kita harus lihai menaklukkan tikungan-tikungan terjal sepanjang pinggiran bukit. Di atas Gunung ini terdapat Stasiun Relai TVRI. Kalo datang penyakit malas untuk membuka tenda Dome yang telah kami bawa, biasanya kami numpang tidur disana. Yaah kebetulan kami memiliki sahabat karib di Stasiun relai tersebut. Namanya Pak Dono. Sudah bertahun-tahun Pak Dono melakukan pengamatan bersama kami. Malahan kayanya lambat laun Pak Dono makin jago mengidentifikasi raptor migran dibandingkan kami (salut buat Pak Dono).


By the way, dari sekian pengamatan yang kami lakukan (2006 – sekarang) kami selalu menjumpai ribuan ekor Raptor Migran. Bahkan pada bulan September - November 2005 tercatat 91.232 raptor migran yang melintasi daerah ini (Germi dan Dono, 2005), artinya rata-rata 1000 raptor migran ter-record setiap harinya. Maka tidak lah mengherankan jika spot pengamatan Gunung Sega ini disebut-sebut sebagai Bottle Neck-nya Bali bagian timur. Daerah yang selalu menjadi main line raptor migran yang akan keluar dari pulau Bali melintasi selat Lombok dengan tujuan yang kami perkirakan adalah pulau seberang yang selalu terlihat dari Gunung Sega yaitu pulau Lombok. Disamping itu, letak spot pengamatan Gunung Sega (08022’50’’S – 115038’17’’E) boleh dibilang sangat strategis karena dengan ketinggian 765 meter dari permukaan laut serta posisi yang berhadapan dengan Gunung Agung dan dua pegunungan lainnya yaitu Gunung Lempuyang dan Gunung Bagas, menjadikannya sebagai spot yang ideal untuk melakukan pengamatan Raptor Migran. Bahkan jika cuaca dan angin mendukung, kita bisa melihat dengan kasat mata (tanpa bantuan binokuler) raptor migran melintas di hadapan kita (jarak antara birdwatcher dan raptor migran kurang lebih 8-10m).


Menurut analisa kami sejauh ini, diduga Gunung Agung dan derah sekitarnya seperti Bebandem, Tirtagangga serta Abang menjadi Resting area dari raptor migran. Karena selama pengamatan kami sering melihat ratusan raptor migran melakukakan aktivitas soaring di pagi hari di daerah-daerah tersebut dan kemudian flapping, gliding atau kembali soaring tepat di lekukan bukit di depan shelter pengamatan kami. Kemungkinan besar raptor ini memanfaatkan hembusan angin dan thermal (udara panas) yang berhembus dari lekukan-lekukan bukit. Karena dengan adanya energi panas dan hembusan angin tersebut, dapat membantu raptor migran untuk terbang melambung tinggi sebagai tanda start awal untuk melintasi selat Lombok. Kami meng-asumsikan aktivitas yang dilakukan raptor migran ini sebagai upaya efisiensi energi karena dengan terbang di atas ketinggian rata-rata maka akan mempermudah raptor migran untuk melewati bentangan perairan selat Lombok yang memantulkan panas matahari secara langsung, yang hal ini malah akan mempercepat terkurasnya energi Raptor migran untuk melanjutkan perjalanannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengamatan kami sangat terbantu dengan landscape (bentang alam) Gunung Sega seperti yang tersebut di atas. Sebagai bahan perbandingan, dari 2 hari pengamatan (16-17 Oktober 2010) kami berhasil mencatat 1.128 raptor migran yang melintas. 1.085 Accipiter soloensis (96%), 21 Pernis ptilorhyncus (1,86%), 5 Accipiter gularis (0,44%), 1 Falco peregrinus (0,09%) dan 16 raptor tak teridentifikasi (1,42%) karena terhalang mendung, atau jarak terbang yang sudah terlampau tinggi sehingga kami kesulitan untuk mengidentifikasinya (data terlampir red). Data ini pun belum ditambah dengan jumlah yang telah ter-record oleh teman kami Pak Dono yang lebih dulu melakukan pengamatan sejak 12-15 Oktober 2010, yaitu sebanyak 4.145 raptor migran. Jadi kalo ditotal selama rentang waktu 6 hari pengamatan (12-17 Oktober 2010) jumlah raptor migran yang telah melintasi pulau ini adalah 5.273. Sedangkan alokasi waktu raptor migran yang paling banyak melintas dijumpai antara pkl. 10.00-13.00 Wita (data tersaji dalam diagram batang red). Selain raptor migran, kami juga mencatat setidaknya lima ekor Elang-Ular Bido (Spilornhis cheel) atau masyarakat sekitar menyebutnya “Ke-kelik” yang merupakan elang resident di daerah tersebut. Malahan sering kali Elang Bido ini kami jadikan indicator kemunculan raptor migran yang akan melintasi daerah ini.Kendala yang sering terjadi selama pengamatan adalah cuaca yang tidak menentu. Bahkan di Gunung Sega, suhu siang hari bisa mencapai 370-390 celcius (bagus untuk program pemutihan kulit kawan… karena setelah pengamatan, kulit kita akan mengelupas satu-persatu dan menjadi putih lagi. Heheheheheee…). Yah maklumlah, tahun ini Bali mengalami anomali cuaca yang benar-benar susah diprediksi. Seperti yang terjadi pada hari terakhir kami pengamatan (17 Oktober 2010), kami baru menjumpai raptor pertama yang melintas setelah memasuki rentang waktu antara pkl. 10.00-11.00 Wita karena sebelumnya cuaca berkabut dan hujan. Padahal biasanya dipagi hari raptor migran ini sudah melintasi Gunung Sega. Disamping itu, minimnya peralatan dokumentasi membuat kita sering kewalahan. Jadi mohon dimaklumi kalo hasil jepret-an raptor migrannya cuma terlihat titik-titik hitam atau kemrumpul kaya’ Laron (heheheheheheee….).


Oiya kawan…, disela-sela pengamatan ini kami mendengar berita tidak menyenangkan. Masyarakat sekitar Gunung Lempuyang, Bagas dan Sega digegerkan dengan adanya pengeboran berskala besar di daerah tersebut. Kuat kabar yang berhembus mengatakan daerah ini akan digunakan sebagai daerah penambangan emas dan tembaga (Bali Post, 18 Oktober 2010). Sungguh malang nasib negeri ini. Tidak kah kita mau sebentar saja bercermin dengan ribuan kubik gelontoran air bah, puluhan bangunan porak poranda terhempas badai, lidah api yang menyala-nyala tak kenal ampun membakar apa saja yang dilaluinya. Ini semua tak lain karena ulah kita sendiri. Dan yang mengherankan kenapa selalu saja ada figur Decepticons, Naraku, Bhu, Joker, Two Face, Mr. Pinguin, Green Goblin, Lex Luther, Magneto, Dr. Octopus, Black Veder dan Firaun yang kerap kali membuat kerusakan di bumi ini. Kenapa setiap orang tidak memilih menjadi tokoh pembela kebenaran seperti Batman, Superman, Spiderman, Ironman, Ultraman dan “Men-Men” lainnya sehingga bumi ini damai dan lestari. Atau barang kali memang ini lah panggung kehidupan yang sebenarnya? Huallah hu a’alam….

Singkat kata kegiatan Raptor Migran kali ini benar-benar membawa pencerahan yang jelas bukan di kulit kami melainkan di hati kami. Dan akhirnya semoga apa yang kami lakukan ini bisa bermanfaat untuk bumi dan para Reptorian di seluruh Indonesia.




No comments:

Post a Comment