Thursday, November 18, 2010

“I'am NOT a SEXY BIRD” (Refleksi Citra Dalam Sebuah Peradaban)

Oleh: Andry X-san

Genap setengah bulan sudah saya menjejakkan kaki di kota ini. Sebuah kota kecil bernama Kediri. Maklum kota yang dulu pernah membesarkan saya, kini telah menjelma menjadi kota modern. Kota yang sedang menggeliat dari tidur panjangnya. Bangunan raksasa dan taman hiburan berskala besar seakan saling bersaing menunjukkan eksistensinya.

Dan saya semakin tenggelam di dalamnya.

Sepanjang perjalanan saya hampir tidak dapat menemukan mereka. Yaa…, mereka adalah teman-teman saya. Jujur hari ini saya begitu kangen dengan mereka. Pada hal dulu, hanya dengan melongok di teras kost-an maka setidaknya saya masih bisa menikmati indahnya tarian ekor Kipasan Belang, riuh rendahnya canda Kutilang dan Cerucuk, decitan manja Burung penghisap madu dan “Prinia Perenjak serta puluhan Burger (sebutan saya untuk Burung Gereja Erasia red.) dan barisan laskar Bondol mulai dari Bondol Jawa, Bondol Haji dan Bondol Peking. Semuanya bisa saya nikmati dengan gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Namun di sini…, saya harus membayar mahal untuk melihatnya.

Kata orang mereka bukan termasuk burung yang sexy. Haaah…, sexy?! Lalu saya pun coba menerka apa sebenarnya parameter ke-SEXY-an seekor burung? Bulunya yang indah kah, suaranya yang merdu kah atau gerakkannya yang lincah kah? Jika label-lebel ini telah terpatri layaknya wing marker yang menempel di sayap mereka, lantas orang bisa memburu mereka seenaknya? Kalo sudah begitu maka jangan menyesal kawan jika beberapa tahun ke depan Emprit akan punah dan tinggal mitos belaka. Apa yang dicap kontroversial pada satu masa akan menjadi fosil pada masa yang lain. Apa yang kita anggap sexy disuatu abad akan berubah menjadi ugly di abad-abad selanjutnya. Dan apa yang sekarang kita tanggapi dengan cengangan dan banjur kekaguman, cepat atau lambat, akan kita lewati dengan perasaan gersang.

Selalu ada lebel-label pen-Citra-an yang harus menempel pada suatu hal yang hanya akan mengakibatkan bergesernya tradisi dan nilai-nilai luhur. Karena inilah orang sering bilang bahwa hidup itu dinamis. Seperti kasus melambungnya harga underwear hanya karena lebel tersebut sering dipakai oleh selebritis dunia seperti Marlin Monroe, Madonna, Jenifer Lopez dan lainnya. Mahalnya harga sepatu-sandal yang pada hal fungsinya sebatas alas kaki agar kaki tidak menginjak taik. Dan jangan kaget bila besok ketika bangun tidur kita dapati harga jarum melambung tinggi tak terbeli hanya karena merek tersebut menjadi nge-trend lantaran sering dipakai Ki Joko Bodho untuk nyantet orang. Hahahahahahahaaa…..

Bukan itu saja kawan, simak baik-baik. Perempuan yang merasa terancam oleh keriput lantas berperang melawan penuaan dengan serum dan botox. Perempuan yang percaya bahwa citra lebih putih berarti lebih cantik akan berperang melawan melaninnya dengan krim pemutih. Melihat mereka yang lebih sukses dan lebih berpengaruh, kita lantas bertempur dengan keinginan dan hasrat untuk ikut lebih dan lebih lagi. Setiap hari kita dijajah oleh pancaran citra, keinginan baru, harapan baru, dan timbullah konflik baru dari lebel-lebel yang sebenarnya kita sendirilah yang menempelkannya. Lalu, siapakah pahlawan yang kita harapkan untuk perang tak berkesudahan ini? Saya yakin dalam setiap peralihan posisi bandul, akan selalu ada kawanan ‘martir’ dan ‘pahlawan’ yang muncul. Tapi siapakah gerangan mereka?

Saya yakin akan ada letupan nama-nama di benak Anda, dari mulai Janis Joplin, Jonathan Davis-nya Korn sampai dengan Nietzsche dan Heidegger. Pada citra mereka itulah ditanamkan representasi kita terhadap gerakan resistensi heroik melawan rambu normalitas ataupun mainstream. Jangan heran kalau label absurditas dan abnormalitas kini bukan lagi celaan, melainkan klaim pujian dan simbol keberanian.

Namun bagaimana kalau saya tawarkan sosok yang lebih mencengangkan lagi? Ambillah cermin. Berkacalah di sana. Detik pertama pikiran Anda mulai merumuskan bayangan yang muncul, detik itu juga Anda menemukan sang ‘pahlawan’. Anda adalah partisipan yang tidak kalah penting dalam proses perubahan wajah dunia. Terlepas dari Anda seseorang yang melek budaya, seorang apatis sejati, atau seorang korban mode.

Bercerminlah sekali lagi. Lebih dalam. Seberangilah bayangan fisik yang muncul, dan bedahlah tumpukan image yang selama ini telah membentuk Anda. Sesuatu yang telah membuat Anda memilih celana kargo, tas ransel, T-shirt band favorit, parfum tertentu, model rambut, CD kesukaan, hobi birdwatching, sampai cara berjalan. Citra apa yang tengah Anda perankan? Apakah sudah cukup keren? Cukup trendi? Cukup cool? Ketika ditanya demikian, kebanyakan dari kita bakal menjawab, “Ah, gue sih asik-asik aja.” Dan ketika dicecar lagi dengan pertanyaan ‘kenapa’, jawabannya adalah “Nggak tahu. Pokoknya suka aja."

Memang menolak dunia citra ini adalah usaha yang melelahkan dan butuh perjuangan panjang. Pulau Jawa tanpa citra ke-jawen-nya hanyalah segumpal tanah tak bernama. Indonesia tanpa citra adalah konstelasi pulau anonim. Adalah citra yang otomatis menghadirkan batas, rambu, penilaian, bla-bla-bla...., yang lalu diimajenansikan dalam realitas ini. Jadi, siapakah gerangan bayangan cermin yang Anda lihat tadi? Siapakah Anda sesungguhnya? Siapakah saya? Apakah realitas ini? Adakah sesuatu yang benar-benar sejati?

Citra memang membius. Citra bagaikan makhluk yang menuntut untuk terus diberi makan. Citra mengonsumsi perhatian kita. Detik demi detik. Nyaris tak memberikan kesempatan untuk bertanya. Akan tetapi, sama halnya dengan lambung, ada baiknya juga citra ‘berpuasa’ sekali-sekali. Ketika kita menjadi penonton yang berjarak, maka kita bisa memberi jeda sebentar pada diri kita. Tidak melulu menjadi obyek desiring machine (mesin hasrat). Kalau Anda beruntung, tentu saja. Tidak ada yang pasti di sini. Yang jelas, hidup rasanya mubazir apabila cuma terus menerus memberi makan pada mesin hasrat yang tak nyata.

Namun bercermin dan membedah refleksinya terkadang dapat menyelamatkan kita dari konflik superfisial yang tak perlu, seperti menghakimi teman yang tidak se-genre, berpusing-pusing menariki batas sana-sini dan bertingkah seperti satpam penjaga portal, karena seperti apakah sebenarnya Normal? Adakah kenormalan sejati? Adakah keabnormalan? Jangan-jangan semuanya adalah jajaran citra yang ingin diberi makan. Tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada yang lebih buruk.

Jadi setiap kali Anda bercermin, coba tembusilah tiap tingkap lapisan citra yang membungkus Anda selama ini. Realitas yang lebih segar mungkin akan muncul. Tepatnya, realitas yang lebih riil. Apa adanya..., hingga yang ada tinggal tiada. Dan mari kita tercengang bersama...


* Satu lagi artikel yang terinpirasi dari teman-temanku yang tlah terlupakan (kawanan burung yang tidak seksi). Terima kasih teman, hari ini saya telah bercermin melalui kalian...










































































































































No comments:

Post a Comment