Tuesday, January 26, 2010

"TERBELIT" PLASTIK

oleh: andry khusnul ichsan

Senin Siang...,

Catatan kelam awal pekan.

Siang itu aku belanja disalah satu supermarket ternama di kota ini. Sebenarnya sich ini bukan aktifitas belanja seperti orang-orang pada umumnya, karena hari itu aku mendapat tugas Price Check dari kantor. Yaah..., like spy on job kecil-kecilanlah. Singkatnya ini adalah kegiatan peng-Compare-an harga antara perusahaan satu dengan yang lainnya. So tujuanku sebenarnya bukan untuk berbelanja.

Usai Price Check, rasa haus mencengkeram kerongkonganku. Aku bergegas mengitari bay (istilah rak dalam industri Ritaile.) yang didalamnya berjajar rapi aneka brand soft drink. Mungkin sudah ratusan kali aku berjumpa dengan produk-produk tersebut. Saking familiarnya, aku sampai hafal walau hanya dengan melihat sekilas bentuk botolnya. Saat aku sibuk memilih soft drink, tiba-tiba seorang SPG cantik menawariku produk soft drink yang lagi in akhir-akhir ini. Maklum produk baru. Sama halnya dengan pengalaman jatuh cinta pada pandangan pertama. Kesan yang ditimbulkan pun harus benar-benar mengena. Khususnya dalam bisnis ini, pembentukan Brand Image memang memegang pengaruh sangat kuat. Bukan hanya kemasan produknya, tapi juga tampilan SPG-nya yang menggoda. Perhatikan dengan seksama ribuan iklan soft drink, mayoritas mereka menggunakan cewek sebagai bintangnya karena para pengiklan tahu bahwa siluet tubuh perempuan bisa membantu penjualan sekaleng minuman dingin, yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung dengan lekuk pinggul dan belahan dada.he...he...he..., just kidding Swity.

Beberapa menit selanjutnya, sudah pasti bisa ditebak. Kami mengobrol. Yah sekedar speak-speak bullshitt tentang produk baru sampai dengan nama dan alamatnya. Meski begitu, bagiku informasi ini sangat berharga. Siapa tau informasi ini bisa dijadikan oleh-oleh untuk dihidangkan saat Most Wanted Article Meeting nanti sore. Tak berselang lama setelah lidah kita bermain silat, kita akhirnya berpisah. Aku ambil sekaleng soft drink dan segera bergegas berbaris mengikuti antrean panjang di kasir.

Keramaian manusia di pusat perbelanjaan sungguh bukan pemandangan baru bagiku. Apa lagi di kota besar seperti Denpasar yang masyarakatnya cenderung bertipe konsumeris. Tapi saat itu aku baru tau, mengantre di kasir bisa menjadi pengalaman yang begitu miris dan mengiris.

Sambil menunggu giliran, aku lihat di depanku seorang ibu-ibu berbelanja sampai tiga troli.

”Aku melihat ada yang aneh”.

Foto: www.image.google.co.id

Lewat pengeras suara, beberapa kali terdengar imbauan untuk mengurangi sampah plastik, bahwa Bumi sedang mengalami pemanasan global, dan sudah tersedianya kantong belanja ramah lingkungan yang bisa dibeli dengan harga terjangkau (ada dua pilihan: dua ribu perak berbahan plastik daur ulang dan sepuluh ribu perak untuk yang berbahan polyethylene). Lalu di dekat kasir, tertera sebuah tulisan yang bunyinya kira-kira begini: petugas kasir diharuskan untuk menawarkan pulsa isi ulang dan kantong belanja ramah lingkungan pada para pembeli. Sampai saat giliranku membayar tiba. Memang betul aku ditawari pulsa. Tapi tidak kantong belanja tadi. Dan, berbarengan dengan pengumuman yang bergaung di seantero toko mengenai pemanasan global, aku mengamati bagaimana belanjaan demi belanjaan dimasukkan ke kantong-kantong kresek oleh tangan-tangan gesit yang sudah bergerak terampil bagai robot. Tak sampai penuh, bahkan kadang setengah pun tidak, mereka mengambili kantong plastik baru. Yang belanja pun tenang-tenang saja menyaksikan. Kenapa tidak? Berapa pun kantong plastik yang dipakai, itu sepenuhnya terserah pihak supermarket. Gratisan pula.

Sambil mengamati gerakan gesit tangan petugas, dalam hati aku bertanya: haruskah seboros itu? Barangkali memang kebijakan dari toko yang mengharuskan berbagai jenis barang untuk tidak digabung dalam satu kantong. Tapi kenyataannya, kantong-kantong plastik setengah penuh itu hanya berfungsi sebagai alat angkut dari kasir menuju troli, lalu dari troli menuju bagasi mobil, lalu dari mobil menuju rumah. Kalaupun beberapa barang beda kategori tersebut harus digabung, asal tidak terkocok-kocok di mesin pengaduk semen. Honestly, how many amount of loss can possibly be done with those stuffs? Pernahkah kamu menghitungnya?

Seperti dugaanku, hal yang mengerikan pun terjadi. Aku melihat puluhan orang keluar dari sana rata-rata membawa 4-6 kantong kresek. Belum termasuk plastik-plastik yang membungkusi buah dan sayur. Jika semua ini direkam dalam video, lalu satu demi satu gambar dihilangkan dan dibiarkan gambar plastiknya saja, niscaya kita akan melihat buntelan-buntelan putih licin yang mengalir bagai sungai dari supermarket menuju parkiran dan akhirnya teronggok tak berguna di TPA Suwung.

Beberapa supermarket di negara ini memang telah selangkah lebih maju. Mereka menjual green bag, kantong belanja yang bisa dipakai berkali-kali. Green bag tersebut pun bisa didapat dengan gratis. Caranya? Mengumpulkan 70 stiker. Satu stiker didapat dengan belanja 10 ribu, dan stiker berikutnya di kelipatan 50 ribu. Jadi belanjalah dulu 10 ribu sebanyak 70 kali, atau belanja diatas nominal 1 juta untuk mendapatkan tas itu secara cuma-cuma. Wow.....!!!

Foto: Bee

Memang, dibandingkan beberapa tahun yang lalu, inisiatif dari pihak supermarket/hypermarket sudah jauh lebih baik dan kreatif. Namun, apakah tidak bisa kita bergerak lebih cepat, lebih tajam dan lebih mengena? Lagi-lagi dan, mungkinkah perspektif yang digunakan pun sebetulnya terbalik? Jika benar-benar ingin mengurangi sampah plastik, kenapa justru pembeli (dalam hal ini orang yang tidak ingin menggunakan kantong kresek) malah menjadi pihak yang harus mengeluarkan biaya ekstra dan tidak mendapat insentif apa pun? Sementara yang pakai kantong kresek tetap melenggang kangkung tanpa sanksi apa-apa? Tidakkah ini jadi indikasi bahwa gerakan Go-Green itu 'lebih mahal' dan 'repot', sementara yang sebaliknya justru 'gratis' dan 'praktis'?

Dimataku, penjualan kantong-kantong ramah lingkungan tersebut pun, selama ini masih menggunakan bahan baku baru dan bukan hasil daur ulang, akhirnya cuma jadi komoditas biasa. Seperti halnya jualan sabun atau sayur. Sementara yang paling penting adalah BERHENTI memproduksi barang baru dan menggunakan ulang apa yang ada. Yang paling penting bukanlah mencetak tulisan "Selamatkan Bumi" di selembar kain kanvas atau di kain polyethylene lalu menjudulinya tas ramah lingkungan, melainkan membuat kebijakan yang benar-benar realistis dan berpihak pada lingkungan.

Dari data statistik jaringan supermarket/hypermarket di Indonesia, penggunaan kantong kresek bisa mencapai 300.000 lembar per hari. 700 ton sampah plastik diproduksi hanya oleh Jakarta saja. Dan menurut Kementrian Lingkungan Hidup, komposisi sampah plastik di kota-kota besar seperti Surabaya dan Bandung meningkat sejak tahun 2000 dari 50% ke 70%. Kita benar-benar sudah dicekik plastik.

Pikiranku terus berandai-andai: jika memang pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk menekan produksi dan penggunaan kantong plastik, dan andai aku adalah pengambil keputusan di rantai supermarket tadi, maka aku akan menetapkan harga 2000-5000 rupiah untuk satu kantong kresek, yang barangkali akan lebih efektif untuk 'memaksa' orang membawa kantong sendiri ketimbang menjual kantong ramah lingkungan seharga 10 ribu. Masuk akal bukan...? Dan dana dari 'sanksi' pembuangan kantong kresek yang tidak bertanggung jawab tersebut kemudian disalurkan untuk kegiatan penghijauan dan aktivitas lingkungan hidup lainnya. Di sebagian negara di Eropa, ternyata pengenaan biaya pada kantong belanja telah berhasil menurunkan sampah kantong plastik hingga 90%.

Aku sendiri cukup salut dengan keberanian Makro. Barangkali cuma di Makro berlaku peraturan tegas di mana konsumen sama sekali tidak disediakan tas kresek untuk setiap pembelanjaannya.(Sori, sekalian promosi.he..he..he...). Setiap pembeli yang pergi ke sana mau tak mau harus siap mental untuk membawa kantong belanja sendiri atau berebut dus-dus kosong yang memang disiapkan di sana. Kebijakan seperti itu dapat dimaklumi karena Makro memang menjual barang-barang berukuran dan berkuantitas besar, jadi alasan sebenarnya juga tidak melulu lingkungan. Hee...he...he... Namun bukannya tidak mungkin jaringan supermarket dan hipermarket lainnya mengikuti jejak Makro dengan mengusung alasan lingkungan, sebagaimana yang digaungkan lewat pengeras suaranya.

Aku keluar dari aliran sungai plastik tadi menuju parkiran motorku. Hati masih miris dan teriris. Sesekali bertanya, apakah khayalanku terlalu tinggi? Apakah realistis jika berharap pihak produsenlah yang berani muncul dengan kebijakan tegas, sementara para konsumennya sendiri tidak mau belajar mengedukasi dan melatih dirinya? Namun, sampai kapan kita bertahan di balik sekat-sekat kaku yang memisahkan pembeli dan penjual, pemerintah dan masyarakat? Sementara belitan plastik yang mencekik tanah dan air Indonesia sudah terlihat jelas di depan mata.





Note: Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggurui atau menghakimi siapa pun. Hanya saja, lakukan apapun yang bisa kamu lakukan untuk menyelamatkan bumi ini. Kalau bukan kita, siapa lagi???


LONG WEEKEND DI BTDC LAGOON NUSA DUA, BALI

oleh: robithotul huda

Pagi yang cerah sekali, matahari bersinar terang menggeser rembulan yang agak enggan beranjak dari langit. Semalam “dia” muncul dengan lingkaran penuhnya yang sangat menawan seakan ingin terus menemani orang-orang yang sedang berpesta merayakan datangnya tahun baru 2010.

Langit cerah dengan hamparan biru menghias. Putihnya gumpalan-gumpalan bak kapas yang terbang tersapu angin kepenjuru langit dan hilang dari mata pandang. Burung-burung berkicau riuh di dahan-dahan pohon sambil mencari makan saat aku terbangun dan tersadar bahwa hari ini aku ada janji dengan teman-teman untuk jalan-jalan ke BTDC lagoon Nusa dua sambil pengamatan burung.

Setelah sholat subuh dan “menyruput” secangkir kopi ditemani sebatang rokok mild kesukaan, aku langsung bergegas menuju ke BTDC lagoon Nusa Dua dengan mengendarai sepeda motor buatan tahun 2002. Karena tergesa-gesa peralatan “tempurku” (binokuler dan buku panduan burung) sampai terlupakan. Nah....

BTDC lagoon Nusa Dua merupakan Kawasan Tahura (Taman Hutan Raya) Ngurah Rai. Tepatnya di titik kordinat 080 4722.1” LS dan 115 0 13’19.7” BT. Hutan dikawasan ini merupakan hutan mangrove dengan berbagai macam jenis tumbuhan mangrove-nya.

Sampai dilokasi, 3 orang temanku (Andry “makro”, Deni “komodo” dan Niken “ibu Cat” ) sudah ada disana dan sedang mengamati burung-burung yang didominasi burung air. Akupun segera mengkondisikan diri mengikuti mereka meliat-liat burung sambil menikmati indahnya pagi di sini lagi dalam balutan tahun yang berbeda dari sebelumnya yaitu tahun 2010.

Pohon-pohon ditengah kolam air buatan sebagai pengolahan limbah, terlihat seperti bonsai. Tidak terlalu tinggi namun batangnya besar, cabangnya melebar kesamping, daun dan akarnya terlihat menonjol ke atas permukaan air dan membentuk beraneka macam visualisasi imajinasi. Seperti ada puluhan ular yang melilit pohon tersebut. Daun-daun warna – warni terkena sinar matahari pagi.

Kuntul, Cangak abu, Kowak malam kelabu terlihat asik bercanda diatasnya menambah daya tarik yang ruuuaaaar…..biasa. Sesekali segerombolan Kirik-kirik terbang display disekelilingnya semakin memanjakan mata kami berempat. Andry si tukang foto “amatiran dengan gaya professional” (dengan kamera barunya) tidak pernah melewatkan moment ini. Dia langsung jeprat-jepret-jeprat jepret pret prett…terus.

Setelah puas disatu tempat, kami terus berjalan menyusuri kawasan ini lewat jalan setapak dari kayu yang sengaja dibuat oleh pengelola kawasan ini. Perjalan kami yang kurang pelan membuat segerombolan Treron vernans yang ada dipohon dekat kami terbang cepat. Terlihat pula sekelompok Hirundo rustica yang berada dipohon kering membuat formasi berjajar di seluruh batang pohon tersebut terlihat biru mengkilap menggantikan dedaunan yang hilang. Pohon Hirundo kami menyebutnya.

Belum jenak kami menikmati pohon Hirundo kami terperangah melihat 9 ekor burung jangkung dengan warna dominan hitam dan putih sedang berjemur di pinggir kolam. Andry segera cepat-cepat mengambil posisi untuk mengabadikannya, “cepat-cepat posenya bagus sekali” kataku. “waduh! Baterainya habis “ kata Andry. “Waahhhhhhhh! Tadi gak di charge dulu sebelum berangkat” . Kataku. “Coba nyalakan lagi dan cepat potret, pasti masih ada sisa strumnya sedikit ja” kata Niken. “Ya” kataku. Andry segera mengambil posisi kesamping kami dipinggir kolam sambil menenteng beberapa peralatan yang tidak ia taruh dalam posisi yang aman. Dan……………..!!! aduhhhhhhhhh! teriak Andry. Kami serempak menegok ke arah Andry. Kenapa ? serempak kami bertanya. Kacamataku jatuh ke kolam kata Andri. Ha….ha… ha… haaaa kami bertiga tertawa dengan terbahak-bahak melihatnya yang mau mengambil kembali kacamatanya yang terjatuh dikolam air lumpur limbah hotel (maaf ini agak kurang enak diungkapkan “kotoran dari toilet alias e’e’-nya manusia”). Yah! liburan ini telah menelan 1 korban.

Sebenarnya kami membawa 3 buah kamera. 2 kamera digital dan 1 kamera manual. Namun 1 kamera digital punya Niken, baterainya ketinggalan dan 1 kamera manual punya Niken juga klisenya habis. Jadi yang bisa dioperasika hanya satu punya Andry. Itupun baterainya tidak full energi. Yah…….!!!!!!!! apes dech!! Terpaksa kami tidak dapat mengambil gambar lagi. Namun kami masih melakukan pengamatan meski tanpa kamera dan kami menikmati liburan ini.

Panas matahari mulai menyengat. Keringat mulai menetes basahi badan. Air minumpun berkali-kali harus dituangkan untuk basahi tenggorokan yang kering. Dan lelah mulai terasa. Tiba-tiba kami melihat seorang yang sangat kami kenal datang kearah kami. Dia adalah……. Udhyn “babies”. Dia kemudian menghampiri kami dan berkata “sori telat bro! lagi ngurus anak, maklumlah bapak rumahtangga”. Kami segera melangkah kembali untuk bergegas pulang. Lapar sudah menggerogoti perut. Sambil melangkah kami bergumam; “kok gak keluar ya Elang bondol dan Elang laut yang biasanya mudah dijumpai disini”. Baru selesai bergumam tiba-tiba ada suara riuh Gajahan penggala yang sedang melintas namun tak terlihat. Membangkitkan kembali energi kami untuk berlama-lama disini. Kemudian terlihat di atas beberapa ekor Cikalang, namun tak terlihat jelas jenisnya dan disusul seekor elang yang terlihat dari bawahnya putih dan ujung sayapnya hitam serta kakinya terlihat kuning. “Wah Elang laut !” teriak Udhyn saat baru terlihat seekor elang tesebut. Setelah mendekat, terlihat jelas bukan Elang laut. Tapi Elang tikus (Elanus caeruleus).

Puas sudah kami dimanjakan oleh pemandangan yang rrrruar……biasa di awal tahun 2010 ini. Dan ini akan menjadikan kami semakin mantap melangkahkan kaki untuk kembali menelusuri, melihat hal yang tersajikan oleh alam sehingga kami menjadi tahu dan semakin yakin untuk melestarikannya.


Berikut adalah jenis burung yang kami temukan saat pengamatan di BTDC Lagoon Nusa Dua - Bali. Tanggal 02/01/2009. Pkl. 07.00 wita-09.30 wita.

  1. Elang tikus ( Elanus caeruleus)
  2. Cekakak sungai ( Todirhampus chloris )
  3. Raja udang biru ( Alcedo coerulescens )
  4. Merbah cerucuk ( Pygnonotus goiavier )
  5. Kapasan sayap putih ( Lalage sueurii )
  6. Cabai jawa (Dicaeum trocileum )
  7. Burung madu sriganti ( Nectarinia jugularis )
  8. Kirik-kirik senja ( Merops leschenaulti)
  9. Kirik-kirik laut (Merops philippinus)
  10. Tekukur biasa ( Streptopelia chinensis)
  11. Dederuk jawa ( Streptopelia bitorquata )
  12. Punai gading ( Treron vernans )
  13. Cipoh kacat ( Aegithina tiphia)
  14. Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus )
  15. Prenjak jawa (Prinia familiaris)
  16. Cinenen jawa (Orthotomus sepium)
  17. Remetuk laut ( Gerygone sulphurea)
  18. Layang-layang api (Hirundo rustica)
  19. Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga)
  20. Kipasan belang (Rhipidura javanica)
  21. Caladi ulam ( Picoides macei)
  22. Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus )
  23. Cikrak kutub (Phylloscopus inornatus )
  24. Kareo padi (Amaurornis phoenicurus)
  25. Tikusan merah ( Porzana furca )
  26. Itik benjut (Anas giberefons)
  27. Belibis kembang ( Dendrocygna arcuata)
  28. Pecuk padi belang ( Phalacrocorax melanoleucos )
  29. Kowak malam kelabu ( Nycticorax nycticorax )
  30. Kokokan laut ( Butorides striatus)
  31. Blekok sawah ( Ardeola speciosa )
  32. Cangak merah (Ardea purpurea)
  33. Kuntul kecil (Egretta garzetta )
  34. Kuntul besar ( Egretta alba)
  35. Trinil pantai ( Tringa hypoleucos)
  36. Trinil kaki merah (Tringa tianus)
  37. Gajahan penggala ( Nemenius phaeopus )
  38. Cikalang ?

Yang ikut melototi :

  • Andry “makro”
  • Deni “komodo”
  • Niken “ibu Cat”
  • Udhyn “babies”
  • Huda “klian kandang”






Wednesday, January 6, 2010

Diam di Bumi

oleh : andry khusnul ichsan


Selasa, 29 Desember 2009 : 19.00 Wita......: “Usai hujan reda, lampu kosanku mati lagi”.


Hal yang lumrah terjadi karena sudah tiga bulan ini diberlakukan pemadaman bergilir untuk daerah Denpasar dan sekitarnya. Maklum sampai saat ini Bali hanya mengandalkan pasokan listrik dari Jawa. Seharusnya pulau Dewata ini sudah waktunya memiliki pembangkit tenaga listrik sendiri. Tapi sudahlah bukan itu yang akan kita bahas…., mendingan sekarang kita mengisi kegelapan ini dengan sesuatu yang bisa bercahaya, salah satunya adalah dengan bermain gitar. Karena kata orang alat musik ini bisa membawa terang dalam hatimu hanya dengan memetik enam dawainya (do,re,mi,fa,sol,la,si…lho koq ada tujuh? Nada yang satu lagi pake’ dawai yang mana yaa?? He…,he...,he…, Red). Perlahan aku maenkan gitarku. Aku pilih lagu-lagu jaman dodol karena memang itu kesukaanku. Mulai dari lagu Heaven-nya Bryan Adam sampai dengan Angel-nya Sarah Mclachlan.


Tau ga’, malam ini ada yang aneh.

Apa itu…, aku pun juga tak tau. Ahh…, Forget it.


Kembali aku bernyanyi. Sesekali tercium bau tanah basah effect dari guyuran hujan sore tadi. Sayup-sayup terdengar suara Jangkrik yang ber-kamuflase dalam gelap malam, saling bersahutan seolah tak mau kalah dengan suara gitarku dan dentuman kembang api. Eh, sebentar….., kembang api??? Yaaah..., kembang api. Inilah secuil perubahan fenomena sosial seiring dengan pergantian tahun yang terjadi hampir di seluruh belahan bumi, tak terkecuali Kota ini yang memang lagi gendeng-gendengnya dengan dolanan tersebut. Jadi tak heran jika pedagang nasi Jinggo (semacam nasi bungkus seharga 2000 rupiah. Di Malang makanan ini dikenal dengan nama nasi Bantingan dan di Jogja lebih dikenal dengan nama nasi Kucing. Red) yang biasa mangkal disekitaran jalan Sudirman, Teuku Umar dan Imam Bonjol tergusur eksistensinya oleh para pedagang mercon, kembang api dan terompet. Jangan khawatir, dolanan-dolanan ini disajikan dengan berbagai balutan warna dan ukuran yang menggemaskan. Mulai dari mercon impling, mercon ses door sampai dengan teropet-terompetan model soprano saxophone-nya Kenny G, semuanya tersedia. Recommended for alternative shooping New Year yang murah meriah, siapa tau bisa dijadikan oleh-oleh untuk anak, adik atau pacar tercinta.he…,he…,he…!!!


Malam semakin larut………,

Aku lihat jam tanganku, angka digitalnya menunjukkan pukul 21.00. Ada yang aneh….,


Malam ini semua terasa sintru dan suwung. Hal yang sama kurasakan saat hari raya Nyepi tiba. Semua lampu mati, jalanan sepi, senyap…. tanpa aktivitas. Terasa seperti kota mati. Tiba–tiba saja ingatanku terlempar jauh ke-ribuan abad yang lalu, atau idiomatic jawa-nya, “Jaman sepur lempung, jaman ora enak”. Jelas, saat itu Thomas Alva Edison belum lahir. Namun sebelum melangkah lebih jauh lagi, aku akan bercerita terlebih dulu tentang tentang konteks dari rangkaian “Train of Thought”.

Hampir semua fakta sains mengungkapkan bahwa zaman es telah dialami Bumi kita. Bagaikan sebuah siklus, Bumi kita memasuki periode dingin dan periode panas secara bergantian. Bahkan dalam buku yang berjudul, “The Fingerprints of the Gods”, mendeteksi adanya peradaban modern yang diduga lebih maju dan canggih ketimbang peradaban kita saat ini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya “monumen” misterius, antara lain Nazca di Peru, Tiahuanaco di Bolivia, kompleks Piramida dan Sphinx di Giza Mesir dan Poompuhar yang sekarang bersemayam di dasar laut India. Lalu ke mana perginya peradaban itu? Jika memang mereka luar biasa canggih, bagaimana mungkin peradaban mereka hilang nyaris tanpa bekas? Spekulasi yang paling masuk akal adalah: Hancurnya zaman es yang menjadi titik klimaks dari bencana mahadahsyat yang menghapus hampir seluruh kehidupan di bumi.

Zaman es terakhir diperkirakan terjadi 10.000 tahun yang lalu. Setelah itu, Bumi perlahan-lahan kembali memasuki “periode panas”. Bagi teman-teman yang sudah pernah melihat atau pun membaca presentasi Al Gore, tentu tahu bahwa Bumi kita hari ini telah memecahkan rekor sebagai Bumi terpanas sepanjang sejarahnya. Jadi, bisa dibilang, Bumi kita kini bukan lagi “panas”, melainkan “PUANAS POOL!!!”.

Dalam buku “The Coming Global Superstorm” dipaparkan bahwa fenomena superstorm terjadi karena salinitas (kadar keasinan) air laut yang terus menurun akibat gelontoran air tawar yang berasal dari cairnya es kutub. Salinitas air laut sesungguhnya berperan esensial dalam regulasi arus laut dunia. Kombinasi kompleks antara air asin dan air tawarlah yang menciptakan arus Atlantik Utara atau North Atlantic Current (NAC). Ketika es di Kutub Utara mencair, maka jumlah air tawar yang tak terperi banyaknya itu akan mengganggu keseimbangan kombinasi air asin dan air tawar di perairan laut dunia. Dan ketika NAC berhenti berarus karena rendahnya salinitas air laut, maka udara beku dari Arktik bertubrukan dengan udara hangat dari Selatan. Tubrukan inilah yang akan mengakibatkan sebuah badai mahadahsyat.

Tahun lalu, tepat bulan Februari 2008, dunia dikejutkan oleh runtuhnya bongkahan es Wilkins di Arktik seluas sepertiga kota Jakarta (Kompas, Februari 2008.Red). Dan yang lebih mengherankan es sebesar ini tidaklah patah, melainkan hancur berkeping-keping (berita menggembirakan untuk para pedagang es serut.Heeheeeheeee….Red). Hal ini mengindikasikan adanya deposit gas metana yang ikut meledak keluar. Ini memunculkan skenario yang lebih fatal lagi, karena dengan demikian meluruhnya es di Arktik dapat disertai ledakan yang sangat destruktif. Terlepasnya gas metana dalam jumlah besar ini akan memanggang Bumi dan ikut mempercepat cairnya es di Kutub Selatan. Rajendra K. Pachauri, Ketua IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change.Red), mengatakan bahwa dua atau tiga tahun ke depan akan menjadi penentu masa depan Bumi yang paling kritis, dan menurut Jay Zwally (ilmuwan iklim dari NASA.Red) memperkirakan es di Arktik akan habis pada musim panas 20012. Waktu kita sungguh tidak banyak lagi, terlepas dari aneka mitos yang membungkus konsep Akhir Dunia itu sendiri. Intinya: “Mari bertindak. SEGERA!!!”.

Uups…., tapi tunggu Bro. Tiba-tiba aku teringat argumentasi favorite para perokok (ga nyambungkan??? Red). “Nggak merokok pasti mati, merokok juga mati, jadi buat apa berhenti merokok?”. Nah hubungannya adalah sebagai berikut: Jika memang Bumi ditakdirkan untuk bersiklus, dan zaman es merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi, jadi untuk apa bertindak?

Aku percaya bahwa Bumi pasti memiliki mekanisme alamiah untuk menjaga keseimbangannya. Manusia boleh saja merasa berkuasa atasnya, tapi Bumi akan bergerak ke arah yang memang harus dituju, terserah kita berkata dan bertindak apa. Namun itu tidak berarti korelasi Bumi dan manusia merupakan korelasi yang terpisah. Barangkali kita tidak bisa mencegah, tapi kita bisa menunda. Mungkin ini adalah pendekatan paling realistis yang bisa kita fikirkan sementara ini, sebagaimana tanda bahaya bencana alam seperti tsunami atau puting beliung yang diperjuangkan agar bisa mendeteksi bencana lebih awal. Kalaupun bencana itu tidak bisa dicegah, tapi dengan tanda bahaya yang lebih awal, maka tenggat waktu pun lebih panjang untuk kita menyelamatkan diri. Jika umat manusia bisa memberi cadangan napas satu-dua pada Bumi, barangkali kita pun punya cadangan waktu untuk lebih bersiap dan menyelamatkan peradaban ini.

Ada sebuah skenario yang ditawarkan di sana. Pilihan terakhir umat manusia untuk sama-sama menahan eskalasi temperatur dunia yang terus meroket. Caranya? Sebuah tindakan dramatis dan serempak dalam skala dunia, yakni menghentikan segala aktivitas pembakaran karbon di muka Bumi selama beberapa hari. Yang artinya, berhenti berlistrik, berhenti berkendara, berhenti berasap. Singkatnya… diam. Ya…, Diam. Pernahkah kita membayangkan, bahwa untuk menyelamatkan Bumi, yang perlu kita perbuat adalah… "tidak berbuat apa-apa"? Sekilas, konsep itu terdengar sangat radikal, bahkan mungkin irasional. Namun sebuah pulau di Indonesia bernama Bali, yang mahsyur sebagai tempat bermukimnya para dewa, telah menjalankan konsep hari "tak berbuat apa-apa" secara rutin, selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Seperti malam ini, malam yang sangat menginspirasi bagiku. Serasa Nyepi yang salah mongso. Hakikatnya Hari Raya Nyepi merupakan prosesi menyambut tahun baru Caka (baca:Saka.Red) yang sungguh tidak biasa jika disandingkan dengan cara sebagian besar umat manusia di zaman modern ini dalam merayakan tahun barunya. Satu pulau dengan serempak tenggelam dalam keheningan. Hidup sehari tanpa menyalakan lampu, tanpa suara, tanpa keluar ke mana-mana. Secara tradisi, keheningan dan gulita ini dimaksudkan agar segala bentuk kekuatan jahat terkecoh, mengira Pulau Bali telah ditinggalkan oleh penghuninya, sehingga mereka pergi ke tempat lain yang lebih bising (Pulau Jawa barangkali???Red).

Jika alasan tradisi ini dilepaskan, menghentikan kesibukan satu pulau untuk satu hari saja adalah tindakan yang sangat-sangat berani. Terutama dalam kehidupan modern kita yang begitu tergantung pada kebisingan dan gebyar cahaya. Bisakah kita membayangkan satu hari berbisik-bisik, tak keluar rumah, tak bekerja, tak berkendara, membiarkan malam bergulir tanpa menyambutnya dengan terang lampu? Bukan itu saja, Nyepi sekaligus juga menjadi momen keluarga. Dalam gelap mereka berkumpul, dengan berbisik saling mengobrol dan bercerita.

Bayangkan hari semacam Nyepi terjadi dalam skala lebih luas, bukan hanya dalam satu pulau tapi satu negara, bahkan satu Bumi. Dan poin yang perlu digaris bawahi adalah, gulita dan hening itu bukan dilakukan karena terpaksa, karena bencana, melainkan dengan sadar dalam rangka mencegah sebuah bencana. Apakah mungkin? Ga’ usah sangsi Bro…. Pulau Bali telah menjadi laboratorium alam yang membuktikan bahwa itu benar-benar mungkin terjadi. Dalam konferensi Climate Change di Bali akhir tahun lalu, Hira Jhamtani mengatakan bahwa dengan satu hari Nyepi, Pulau Bali menghentikan emisi sekurangnya 20,000 ton CO2. Sungguh kontribusi yang cukup besar untuk bumi kita yang semakin tua.

Dalam bahasa Sunda, “bumi” berarti rumah. Jadi, “diam di bumi” sama dengan diam di rumah. Entah kapan proposal “World Silent Day” bergerak dari fase embrio menuju tindakan matang dan nyata. Yang jelas, aku akan mendukungnya. Membayangkan malam yang khidmat dan luar biasa tenang, pagi hari yang luar biasa segar, dan yang lebih penting lagi, bagaimana manusia satu Bumi akhirnya dipersatukan, bergerak dengan satu semangat untuk menyelamatkan rumahnya. Menolong Bumi dengan diam di bumi.

Oh iya…, sewaktu aku beranjak menuangkan ide ini ke dalam sebuah tulisan berformat Office Word, listrik kembali mengaliri kosanku. Menghidupkan kembali lampu, TV, tape dan perabotan lainnya yang bersenyawa dengan energi mahal ini. Semua kenyamanan ini… kemudahan ini… telah diberikan alam pada kita selama bergenerasi-generasi. Cuma-cuma. Jika minimal sejam saja berpuasa dari itu semua dapat menolong alam untuk bertahan, tidakkah itu menjadi hadiah yang mudah, murah, sekaligus tak ternilai harganya untuk bumi kita?

Salam Hijau,

Bee