Oleh: Andry X-san
Berawal dari perjalanan Company Gathering, 13 Maret 2011.
Hari itu perjalanan kami sampai di sebuah obyek wisata bernama Air terjun Kakek Bodo di daerah Tretes. Begitu terkejutnya karena baru pertama kali setelah kurang lebih enam bulan terakhir saya mendengar lagi suara lengkingan yang memecah kesejukan udara hutan Kakek Bodo. Yaah.., suara khas Elang-ular Bido (Spilornis cheela). Secara reflek kepala saya pun mendongak sambil mencari-cari dimana gerangan sumber suara tersebut. Ternyata benar, tepat diatas kepala saya seekor Elang Bido soaring dengan anggunnya.
Kulihat jam ditangan saat itu menunjukkan pukul 08.30. Namun karena tutupan tajuk hutan Kakek Bodo yang rapat makanya saya kesulitan untuk mengabadikan moment indah ini. Tak selang lama setelah moment itu berakhir lagi-lagi saya dikejutkan dengan munculnya rombongan burung yang beputar-putar diangkasa. Haaah, mereka melakukan atraksi soaring. Semakin kutajamkan penglihatan saya, dan terlihatlah jelas 70-an Elang alap Cina (Accipiter soloensis) berputar-putar diatas tajuk Kaliandra (Calliandra tetragona).
Buru-buru saya berlari sekencang-kencangnya mengejar rombongan teman-teman saya karena gara-gara dua fenomena yahud tadi saya pun jadi ketinggalan gerbong Company gathering yang saya ikuti, Lalu saya panggil teman-teman saya. Tak beberapa lama teman-teman saya pun berkumpul. Saya lihat wajah mereka satu persatu. Ga ada yang special, datar dan biasa-biasa saja. Kembali saya arahkan jari telunjuk saya ke arah kerumunan Elang yang sedang soaring tadi. Beberapa teman saya tidak bisa melihatnya. Padahal itu tepat dihadapan mereka. Sekali lagi saya setengah berteriak menunjukkan posisi kumpulan elang yang saya maksud. Tapi kebayakan dari mereka kurang tertarik sehingga pergi meninggalkan saya dengan kegilaan saya ini. Saya jadi seperti orang edan ditengah kerumunan puluhan teman yang memandangi fenomena yang ga jelas terlihat dan ga jelas maksudnya ini (menurut mereka).
“Tubuh ini serasa tersedot dalam pusaran air yang tengah membabi-buta”. Lemas, lunglai tak berdaya diombang-ambingkan arus. Apakah saya masih waras? pikir saya setengah meyakinkan keberadaan saya saat itu. Kemudian otak ini membawa segala kontrol dalam diri untuk semakin menyeret saya untuk terbenam jauh dan jauh lebih dalam.
Kenapa kalian tidak se-senang saya saat menikmati pertunjukkan ini? Gerutu hati saya. Apakah kalian tidak bisa membuka mata kalian sedikit saja untuk paling tidak sejenak berfikir bagaimana cara mereka bisa sampai di tempat ini, bagaimana cara mereka mendapatkan makanan untuk perjalanan yang maha jauh ini? Atau apakah saya MEMANG benar-benar sudah gila? Huuuuffff, what ever-lah………
Rusak sudah keindahan Air terjun Kakek Bodo dan dua fenomena menarik ini (menurut saya, bukan menurut orang lain tentunya). Tapi semuanya tidak boleh berakhir sia-sia seperti ini. Harus ada obat penawar jika luka sudah terlanjur tertoreh. Heheheeee…., acara bebas pun tiba. Tak perlu waktu lama lagi saya lantas bergegas mencari para kuncen hutan Kakek Bodo ini. Siapa lagi kalo’ bukan tukang ticketing dan mas-mas penjaga parkir. Saya keluarkan sebungkus rokok, saya nyalakan dan tak lupa saya tawarkan pada para kuncen ini. Tak begitu lama kami pun sudah terlibat dialog terbuka dua arah. Mulai dari menanyakan nama, asal, bagaimana bisa nyampek ke sini dan etc-etc. Dari obrolan ini saya pun tahu bahwa ternyata lawan bicara saya ini bukan orang sembarangan. Namanya Mas Ichwan, alumni mahasiswa Kehutanan disalah satu Universitas swasta di Surabaya. Pernah kerja sebagai buruh harian di pabrik kayu namun nasib kemudian membawanya menjadi tukang parkir di kawasan obyek wisata air terjun Kakek Bodo ini, keluhnya setengah becanda sambil menghisap rokok yang saya tawarkan.
Dari dia lantas saya mendapat beberapa keterangan kalo obyek wisata air terjun ini berada di Gunung Ringgit, sebuah pegunungan kecil di sebelah gunung Welirang dan Penanggungan. Posisi pegunungan ini hampir berhadap-hadapan dengan pegunungan Arjuno dan Bromo-Semeru yang berada di sebelah timur. Konon cerita, dulu para Punokawan, Bagong- Gareng dan Petruk mendapat tugas dari Shang Hyang Wenang untuk memikul sebuah Gunung yang maha besar di atas selembar daun kelor bersama ‘Kyai Semar yang saat itu menjadi ketua rombongan, dengan satu syarat gunung ini harus tiba ditempat sebelum fajar menyingsing. Gunung ini dimaksudkan sebagai media penyeimbang karena saat itu bumi jawa dwipa memang sedang gonjang-ganjing dengan gempa hebat yang sering melanda. Namun ayam terlebih dulu berkokok (tanda fajar telah menyingsing) sebelum gunung yang mereka bawa tiba di tempat tujuan. Karena itu para Punokawan buru-buru melempar gunung tersebut sehingga pucuk gunung ini pun tercecer menjadi gunung Penanggungan. Dan bagian gunung lain yang lebih besar menjadi gunung Semeru. Makanya masyarakat menamakannya gunung Penanggungan yaitu dari asal kata nanggung atau tanggung. Gunung dari ceceran puncak Semeru. Begitu lah kurang lebih kisah gunung Penanggungan yang saya tangkap dari cerita mas Ichwan kepada saya. Hehehehehe…., dalam hati saya berkata hari ini saya dapat oleh-oleh ilmu baru lagi. Dia juga menuturkan bahwa masyarakat di sini lebih mengenal elang dengan sebutan Olong-olong. Katanya sih banyak dijumpai di atas bukit Hotel Surya. Sebuah penginapan terkenal di daerah Tretes. Sepertinya obat penawar luka telah saya dapatkan. Rasa-rasanya cukup sudah ngobrol-ngbrolnya. Kebetulan rombongan Company Gathering saya akan bergegas meninggalkan lokasi ini. Singkat cerita saya pun pamit sama mas Ichwan.
Di dalam bus yang membawa tim company gathering ini kembali ke Villa Tretes, di tengah hiruk pikuk suara teman-teman saya yang saling berbagi cerita tentang hal-hal yang menurut mereka (sekali lagi: menurut mereka menyenangkan) yang baru saja mereka lewati di air terjun Kakek Bodo, saya lebih banyak terdiam. Pandangan mata ini terlempar beberapa depa jauhnya menembus selapis kaca bening (bukan kaca riben yang biasanya berwarna hitam transparan yang sering terpasang di kaca mobil-mabil mewah) yang sengaja dipasang untuk membatasi saya dengan hijau tiap daun pohon Belantih (Homolamthus giganteus) di depan saya.,. tiba-tiba terlintas dibenak saya sebuah ilustrasi seperti ini:
Seseorang mencoba menceritakan sebuah alam yang hijau, lalu seorang lain berteriak protes, bilang bahwa alam hijau cuma bualan. Lalu ada yang membela, bilang ‘betul, kok, alamnya memang hijau.’ Tapi ada lagi yang menimpali, sebenarnya alam ini setengah hijau dan setengah ungu.
Lalu, seorang lain datang dan berkata pada mereka: orang yang menceritakan alam itu hijau memang benar, karena dia memakai kacamata berlensa hijau. Yang protes juga tidak salah, karena kacamatanya kuning. Yang sepakat hijau, ketika dicek, ternyata warna lensanya hijau muda. Jadi walau sama-sama hijau, tetap tidak persis sama. Yang bilang setengah hijau setengah ungu juga tidak salah, karena lensanya memang dua warna. Tersadarlah orang-orang yang ribut tadi bahwa selama ini, realitas yang mereka lihat termediasi selapis lensa. Dan orang terakhir tadi pun berkata bijak pada semua, sesungguhnya realitas yang sejati berwarna pink. Dan sepasang lensa pink bertengger di depan matanya, tanpa bisa ia sadari. Dalam diam saya pun kembali tersenyum simpul. (suwi-suwi koyo’ wong edan rek…)
Realitas yang kita jalani amat bergantung dengan kacamata dan kacahati yang kita kenakan. Dalam variasi pemahaman seperti itu, di manakah kebenaran sesungguhnya bersemayam?
Lensa semata-mata adalah lapisan persepsi yang kita tumpuk, yang kita rangkai, dan kita timbun melalui pengkondisian, proses evolusi, dan perubahan yang kita alami sepanjang hidup. Lensa kita sangat mungkin berubah, bahkan terus berubah. Yang dulu berkacamata hijau sekarang bisa jadi merah, dan sepuluh tahun lagi berubah jadi putih.
Begitulah kira-kira selintas yang saya tangkap dari beberapa kejadian yang telah saya ceritakan tadi. Lensa seseorang yang kehilangan fungsinya saat melihat keindahan burung-burung pemangsa yang sedang soaring. Namun seketika lensa tersebut bisa kembali menemukan titik akurasinya ketika mendefinisikan gemulai tubuh se-onggok daging bernama Wanita yang pinggulnya bak jarum pendulum yang bergoyang gemulai ketika berjalan. (guyon bro….). Begitu pula lensa berbeda yang di kenakan mas Ichwan ketika melihat gunung Penanggungan dari kejauhan. Selalu saja ada perbedaan lensa antara kita semua.
Namun pertanyaannya sekarang, di mana letaknya kendali perubahan terhadap lensa kita ini?
Dalam Law of Attraction, dikatakan bahwa hidup kita baru berubah jika kita mau melihatnya berubah. Law of Attraction bukan satu-satunya hukum dalam kehidupan, tapi untuk perihal satu ini, bisa disimpulkan bahwa kunci perubahan hanya ada pada diri sendiri. Saya tidak bisa mengubah pandangan Anda, hanya Anda yang bisa. Begitu juga sebaliknya.
Selama lensa kita berbeda, kita hanya bisa mengomunikasikan persepsi kita, menyaksikan bagaimana perbedaan kita bertumbuh dan berdinamika. Sayangnya, seringkali dalam kehidupan nyata, kita tidak puas dengan sekadar “menyampaikan”. Kita ingin mengubah seseorang agar sepaham dengan diri kita. Dan kita percaya dengan berkomunikasi yang baik dan benar (baca: baik dan benar MENURUT kita) maka kita mampu melakukannya.
Dan inilah yang saya dapatkan hari ini: sesungguhnya kita tidak terlalu peduli pada kebenaran, kita bahkan tidak mengerti apa itu komunikasi sejati, kita hanya peduli pada lensa kita. Bukan apa yang ada di baliknya. Barangkali itulah yang menjadikan “pemahaman benar” sebagai gerbang akhir pencarian kebenaran itu sendiri. Bukan kebahagiaan. Bukan surga. Bukan juga neraka. Melainkan pembebasan dari keduanya. Dalam memahami secara “benar”, yang menjadi tujuan bukan lagi perihal benar atau salah, tapi memahami bagaimana keduanya bermula dan bagaimana kita bisa bebas dari jerat keduanya. (wkwkwkwkwkkkk….., koyok’e aq tambah gendeng temenan iki rek!!!)
Kita semua menginginkan kebahagiaan, bahkan keabadian. Namun sesempurna apa pun lensa yang kita kenakan, seindah dan seadiluhung apa pun realitas yang kita lihat, lensa hanyalah lensa. Lensa tetap menjadi lapisan yang membatasi kenyataan yang kita pikir dan kebenaran yang sesungguhnya. Tak henti-hentinya mengupas lensa mata dan hati hingga menemukan kebenaran sejati. Kebenaran tanpa lapis apa-apa. Seperti kaca bus ini. Transparan, jujur mengatakan apa yang sebenarnya terlihat di luar sana.
Selama kita berada dalam tatanan realitas berlensa, selama kita masih bergantung pada kacamata dan kacahati kita untuk mengungkap kebenaran, saya dan Anda hanya bertukar kebenaran relatif. No winner, no loser. It’s always a zero sum game….!!!!
Entry Point-nya adalah, kedua pihak belajar memahami bahwa jika ada kesenjangan lensa antara mereka, perbedaan tersebut memang sudah demikian adanya. Bukan untuk disamakan, dipas-paskan, atau dikoreksi. Dan yang terjadi justru adalah keajaiban komunikasi: sebuah pengertian dan koneksitas yang mendalam, bahkan mencerahkan. Karena hanya melalui komunikasi sejati, lapis demi lapis lensa kita bisa terkikis, dan jika kita beruntung, kita mampu mengintip secercah-dua cercah indahnya kebenaran tanpa kacamata. Indahnya hati tanpa kacahati.
Saya sadar, komunikasi semacam itu sukar terjadi dalam diskusi seperti ini. Semua pengalaman terakhir saya ini hanya akan menjadi pengingat bagi saya untuk terus berevolusi dan bergulir dengan arus kehidupan.
So, let’s move on with our life, our love, and our lenses. And for once, may we appreciate not only the beauty of our own spectacles, but also the differences around us all.
Salam Hijau untuk bumi yang kian memerah
kameramu sama kameraku juga beda kawan. kameramu lensanya panjang, punyaku pendek.
ReplyDeletemantappppppp!!! PPSB/RH