Barangkali kita akan berfikir dua atau bahkan berkali-kali jika mau menanam Juwet (syzygium cumini), Paitan (Titonia sp) sejenis tanaman perdu yang bukan main pait rasanya, Kerasi (Lamtana camara) raja belukar dataran rendah yang sampai saat ini belum layak kita konsumsi bahkan sekepepet apapun situasinya atau Ciplukan (?) tumbuhan merambat dengan buah sebesar kelereng dengan rasanya yang manis menjadi tanaman pokok di ladang kita. Lantas siapa penebarnya? Wajar mereka adalah sekian dari tumbuhan yang terpinggirkan karena alasan ekonomis. Belum pernah terdengar kisah sukses seorang petani dengan sengaja berkebun juwet, paitan, ciplukan, kalau kerasi sudah ada gak ya...? Mungkin taman, itupun tak lebih hanya sebagai penghias restoran, villa, hotel atau hunian elite lainnya.
Adalah hamparan padang rumput dan belukar di perbukitan kapur gersang di selatan pulau Bali. Tepatnya salah satu sudut Desa Ungasan, sebuah desa terujung di bagian selatan Kabupaten Badung. Tidak ada batang ketela atau tanaman palawija, yang ada hanyalah belukar liar dan beberapa tanaman tahunan yang jumlahnyapun tak seberapa. Luasnya tak lebih dari 10 Ha milik tuan tanah setempat, bukan hutan bukan juga kebun garapan. Perumahan, villa dan hotel adalah pagar pembatasnya. Sebagian bahkan merupakan tanah bekas villa yang dibongkar oleh pemiliknya, menyisakan persegi panjang beton lengkap dengan lantainya ukuran 4 x 6 m yang tersamar oleh belukar. Setidaknya, tanah inilah yang menjadi rumah sementara bagi beberapa jenis burung didalamnya untuk meneruskan generasi dan menjalankan tugas ekologis yang menjadi garis fungsinya.
Tidak banyak jenis burung yang menghuninya, namun salah satu diantaranya merupakan jenis langka dan masuk dalam kategori dilindungi. Cekakak sungai (Todirhamphus chloris), Kerak kerbau (Acridotheres javanicus), Bentet kelabu (Lanius schach), Cerucuk (Pycnonotus goavier), Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), Caladi tilik (Picoides moluccensis), Cipoh kacat (Aegetina tipia), Kapasan sayap putih (Lalage suaerii), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), Tangkar centrong (Crypsirina temia), Cica koreng jawa (Megalurus palustris), Prenjak jawa (Prinia familiaris), Burung madu sriganti (Nectarina jugularis) dan sesekali terlihat beberapa jenis Egreta terbang melintas.
Entah sampai kapan burung-burung itu akan tetap ada, kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat, harga kayupun kian melangit, artinya luasan areal bervegetasi yang merupakan sumber pakan bagi burung akan semakin menyempit. Jika ini yang terjadi, bukan hanya kepunahan lokal tingkat globalpun agaknya tidak berlebihan bakalan terjadi.
Sayang jika harus kehilangan mereka, ada hubungan persahabatan yang dapat kita pelajari disana, si pemakan buah (kutilang dan cerucuk) menjatuhkan biji sisa makanannya ke tanah, si pecinta daun muda (belalang dan jangkrik) dimangsa oleh si kumis baplang Bentet kelabu, ketika pohon sedang berbunga datang penghisap madu yang santun (Burung madu sriganti) membantu penyerbukan, begitu seterusnya. Atau, antara Kerak kerbau/Jalak hitam dengan sapi (tak ada kerbau sapipun jadi he...he...) mereka bak dua sahabat yang tak pernah terpisahkan. Sayangnya kisah mereka bahkan hampir menjadi sebuah cerita/dongeng antar generasi. Salut. Mereka tahu persis bagaimana memulai suatu hubungan, sedangkan kita hanya paham cara menghancurkannya....
Langsung saja, kalau boleh meminjam salah satu jargon sebuah produk clothing “SAVE THE BIRDS, SAVE THE TREES; BIRDS NEED TREES, TREES NEED BIRDS; PEOPLE NEED BIRDS AND TREES” belum terlambat jika kita mulai melindungi burung dan habitatnya, karena kita memang butuh mereka....□
mantap. lanjutkan perjuanganmu kawan!
ReplyDelete