oleh: robithotul huda
(Membuka Catatan lama tahun 2007)
Waktu itu, hari Selasa, tanggal 03 Juli 2007 aku berada di desa Buahan, Kintamani-Bangli untuk menunaikan tugasaku sebagai observer elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) yang akan di lepasliarkan oleh PPS Bali. Kini sedang menjalani proses habituasi dikandang yang telah dibuat dengan ukuran panjang 28 M, lebar 6 M dan tinggi 8 M. dalam kandang tersebut dihuni oleh 2 ekor elang laut yaitu si Bali (betina) dan Charles (jantan).
Seperti biasanya, observasi prilaku dilakukan dari pkl. 07.00-17.00 wita. Setelah selesai observasi aku melangkahkan kaki menuju rumah tinggal sementara yaitu rumah pak Mekel (kepala desa Buahan) tempat aku menumpang (kost). Belum sampai di tempat kost, aku di cegat oleh warga. "Mas…!mas Jawa"! (panggilan orang luar Bali). " Berhenti dulu" katanya. Akupun berhenti. "Ada apa?" tanyaku. "Ada yang menemukan burung besar. Sekarang ditaruh dikandang ayam"!!! katanya.
Kemudian aku segera meluncur ketempat orang yang menampung burung tersebut. Ternyata burung tersebut adalah elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) fase gelap. Namun sayang, elang tersebut sakit. Kepalanya selalu memutar-mutar (teteloan kata masyarakat disini) dan temboloknya juga kosong. Kata Komang (nama anak yang menemukan elang tersebut), elang tersebut di temukan dipinggir jalan saat dia mencari kayu ditepi hutan. Tiba –tiba saja elang tersebut jatuh dari pohon. Awalnya Komang dan temannya takut untuk mengambilnya karena perawakan burung ini yang menurutnya seram yaitu; mempunyai kuku, paruh serta mata yang tajam. Namun karena kasihan melihat elang tersebut tidak mampu terbang akhirnya dia memberanikan diri untuk mengambilnya dan membawanya pulang.
Tanpa menunggu waktu yang lama aku dibantu masyarakat segera memberikan pertolongan pertama yaitu memberikan makanan. Karena si elang tidak mampu makan sendiri terpaksa aku suapi dengan daging yang telah ditumbuk dan diberi sedikit air. Setelah temboloknya terisi, dan kondisinya sudah mulai bagus, dapat berdiri meski agak sempoyongan aku segera melangkah pulang karena hari mulai gelap, matahari sudah tenggelam, berganti indah rembulan yang siap meninabobokkan mahluk-mahluk diurnal dan membawanya terbang ke alam mimpi.
Pagi hari aku melapor kejadian tersebut ke kantor PPS Bali. Yang kemudian memutuskan drh. I Made Winaya datang kelokasi untuk mengecek kondisi elang tersebut. Elang kemudian diambil sampel darah, feses, dan mulutnya. Dugaan sementara (dilihat secara fisik), kemungkinan elang terkena penyakit Grubug (=stilah yang dipakai oleh masyarakat setempat) atau ND (Newcastle Disease) istilah dalam kedokteran hewan. Grubug juga sudah biasa menjangkiti ayam-ayam di desa ini kata masyarakat.
Elang Brontok merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi oleh Negara yang tercantum dalam undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan oleh CITES diketegorikan dalam Appendix II. Dan PPS Bali (Pusat Penyelamatan Satwa Bali) adalah salah satu lembaga yang menampung satwa hasil sitaan maupun penyerahan sukarela oleh masyarakat untuk direhabilitasi dan kemudian dilepasliarkan lagi.
Sebenarnya elang Brontok tersebut bisa saja dievakuasi ke PPS Bali untuk menjalani perawatan, namun dengan pertimbangan untuk mengisolir penyakit yang dibawa oleh satwa tersebut agar tidak menyebar ketempat lain, maka elang tersebut tetap di taruh ditempat/kandang tersendiri disekitar lokasi. Dan jika sudah sehat maka akan segera dilepas kembali ke hutan dekat desa.
Hari ke hari elang mulai membaik dan dapat makan sendiri. Bahkan tikus yang hiduppun dia juga sudah mampu memangsanya. Namun kepalanya masih cengeran (=istilah warga lokal menyebut tetelo).
Tiba saatnya membaca hasil laboratoirum sampel yang telah diambil dari elang tersebut. Hasilnya elang tersebut memang benar positif terkena ND (Newcastle Disease)
Dan nasib tragis akhirnya menimpanya, dia mati didalam kandangnya, sebelum pertolongan lanjut dilakukan. Dan kadavernyapun dibakar agar tidak menularkan ke satwa lain maupun manusia.
Demikianlah nasib sang pemangsa yang terkenal ganas; cakar yang tajam, paruh yang kuat untuk mengoyak daging-daging mangsanya dan mata yang tajam 10 kali lipat penglihatan manusia mampu menerobos rimbun pepohonan dalam mengintai mangsa.
Ini terjadi karena ulah manusia yang telah menyebarkan racun dari pestisida berlebihan, kotoran ayam broiler yang dipakai untuk pupuk pertanian di sekitar kawasan hutan ini. Hampir seluruh desa disekitar kawasan hutan Kintamani dan sekitar danau Batur masyarakatnya menggantungkan hidup dari bertani; bawang merah, cabe besar dan kubis. Sebelum tanaman ini ditanam, petani akan memupuk lahannya dulu dengan kotoran ayam pedaging broiler yang diambil dari desa-desa terdekat. Hal ini menimbulkan bau yang tidak sedap sama sekali dan mengundang lalat dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun masyarakat sudah terbiasa dengannya. Kemudian setelah tanam pengguanan pestisida dilakukan dari mulai tanam sampai akan panen.
Inilah kemungkinan penyebab terjangkitinya penyakit pada elang Brontok tersebut. Kotoran ayam yang telah terinfeksi menjangkiti ayam ataupun burung dan ayam maupun burung tersebut dimakan oleh elang Brontok. Dan Brontokpun akhirnya terkena juga.
Terlepas dari semua itu, masyarakat desa yang agraris (mengandalkan pertanian) juga membutuhkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya yaitu dari bertani. Meski cara yang dipakai dipandang oleh mereka masih wajar karena kekurangtahuan tentang cara yang ramah lingkungan ataupun acuh karena ingin mendapatkan penghasilan yang cepat dan banyak. Begitu pula dengan elang Brontok yang mungkin karena kesulitan mendapatkan mangsa dihutan dan akhirnya memangsa ayam kampung milik warga. Keduanya sama-sama ingin mempertahankan hidupnya, ingin melanjutkan generasinya. Maka dari itu perlu saling memberikan timbal balik yang baik antara manusia dengan satwa liar demi keberlangsungan alam yang hanya satu ini.
Namun manusia adalah mahluk yang mampu berpikir, dialah yang dominant. Maka manusialah yang wajib menjaga, melindungi mahluk lainnya salah satunya adalah Elang Brontok. Demi kerlangsungan manusia itu sendiri.
(Membuka Catatan lama tahun 2007)
Waktu itu, hari Selasa, tanggal 03 Juli 2007 aku berada di desa Buahan, Kintamani-Bangli untuk menunaikan tugasaku sebagai observer elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leucogaster) yang akan di lepasliarkan oleh PPS Bali. Kini sedang menjalani proses habituasi dikandang yang telah dibuat dengan ukuran panjang 28 M, lebar 6 M dan tinggi 8 M. dalam kandang tersebut dihuni oleh 2 ekor elang laut yaitu si Bali (betina) dan Charles (jantan).
Seperti biasanya, observasi prilaku dilakukan dari pkl. 07.00-17.00 wita. Setelah selesai observasi aku melangkahkan kaki menuju rumah tinggal sementara yaitu rumah pak Mekel (kepala desa Buahan) tempat aku menumpang (kost). Belum sampai di tempat kost, aku di cegat oleh warga. "Mas…!mas Jawa"! (panggilan orang luar Bali). " Berhenti dulu" katanya. Akupun berhenti. "Ada apa?" tanyaku. "Ada yang menemukan burung besar. Sekarang ditaruh dikandang ayam"!!! katanya.
Kemudian aku segera meluncur ketempat orang yang menampung burung tersebut. Ternyata burung tersebut adalah elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) fase gelap. Namun sayang, elang tersebut sakit. Kepalanya selalu memutar-mutar (teteloan kata masyarakat disini) dan temboloknya juga kosong. Kata Komang (nama anak yang menemukan elang tersebut), elang tersebut di temukan dipinggir jalan saat dia mencari kayu ditepi hutan. Tiba –tiba saja elang tersebut jatuh dari pohon. Awalnya Komang dan temannya takut untuk mengambilnya karena perawakan burung ini yang menurutnya seram yaitu; mempunyai kuku, paruh serta mata yang tajam. Namun karena kasihan melihat elang tersebut tidak mampu terbang akhirnya dia memberanikan diri untuk mengambilnya dan membawanya pulang.
Tanpa menunggu waktu yang lama aku dibantu masyarakat segera memberikan pertolongan pertama yaitu memberikan makanan. Karena si elang tidak mampu makan sendiri terpaksa aku suapi dengan daging yang telah ditumbuk dan diberi sedikit air. Setelah temboloknya terisi, dan kondisinya sudah mulai bagus, dapat berdiri meski agak sempoyongan aku segera melangkah pulang karena hari mulai gelap, matahari sudah tenggelam, berganti indah rembulan yang siap meninabobokkan mahluk-mahluk diurnal dan membawanya terbang ke alam mimpi.
Pagi hari aku melapor kejadian tersebut ke kantor PPS Bali. Yang kemudian memutuskan drh. I Made Winaya datang kelokasi untuk mengecek kondisi elang tersebut. Elang kemudian diambil sampel darah, feses, dan mulutnya. Dugaan sementara (dilihat secara fisik), kemungkinan elang terkena penyakit Grubug (=stilah yang dipakai oleh masyarakat setempat) atau ND (Newcastle Disease) istilah dalam kedokteran hewan. Grubug juga sudah biasa menjangkiti ayam-ayam di desa ini kata masyarakat.
Elang Brontok merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi oleh Negara yang tercantum dalam undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan oleh CITES diketegorikan dalam Appendix II. Dan PPS Bali (Pusat Penyelamatan Satwa Bali) adalah salah satu lembaga yang menampung satwa hasil sitaan maupun penyerahan sukarela oleh masyarakat untuk direhabilitasi dan kemudian dilepasliarkan lagi.
Sebenarnya elang Brontok tersebut bisa saja dievakuasi ke PPS Bali untuk menjalani perawatan, namun dengan pertimbangan untuk mengisolir penyakit yang dibawa oleh satwa tersebut agar tidak menyebar ketempat lain, maka elang tersebut tetap di taruh ditempat/kandang tersendiri disekitar lokasi. Dan jika sudah sehat maka akan segera dilepas kembali ke hutan dekat desa.
Hari ke hari elang mulai membaik dan dapat makan sendiri. Bahkan tikus yang hiduppun dia juga sudah mampu memangsanya. Namun kepalanya masih cengeran (=istilah warga lokal menyebut tetelo).
Tiba saatnya membaca hasil laboratoirum sampel yang telah diambil dari elang tersebut. Hasilnya elang tersebut memang benar positif terkena ND (Newcastle Disease)
Dan nasib tragis akhirnya menimpanya, dia mati didalam kandangnya, sebelum pertolongan lanjut dilakukan. Dan kadavernyapun dibakar agar tidak menularkan ke satwa lain maupun manusia.
Demikianlah nasib sang pemangsa yang terkenal ganas; cakar yang tajam, paruh yang kuat untuk mengoyak daging-daging mangsanya dan mata yang tajam 10 kali lipat penglihatan manusia mampu menerobos rimbun pepohonan dalam mengintai mangsa.
Ini terjadi karena ulah manusia yang telah menyebarkan racun dari pestisida berlebihan, kotoran ayam broiler yang dipakai untuk pupuk pertanian di sekitar kawasan hutan ini. Hampir seluruh desa disekitar kawasan hutan Kintamani dan sekitar danau Batur masyarakatnya menggantungkan hidup dari bertani; bawang merah, cabe besar dan kubis. Sebelum tanaman ini ditanam, petani akan memupuk lahannya dulu dengan kotoran ayam pedaging broiler yang diambil dari desa-desa terdekat. Hal ini menimbulkan bau yang tidak sedap sama sekali dan mengundang lalat dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun masyarakat sudah terbiasa dengannya. Kemudian setelah tanam pengguanan pestisida dilakukan dari mulai tanam sampai akan panen.
Inilah kemungkinan penyebab terjangkitinya penyakit pada elang Brontok tersebut. Kotoran ayam yang telah terinfeksi menjangkiti ayam ataupun burung dan ayam maupun burung tersebut dimakan oleh elang Brontok. Dan Brontokpun akhirnya terkena juga.
Terlepas dari semua itu, masyarakat desa yang agraris (mengandalkan pertanian) juga membutuhkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya yaitu dari bertani. Meski cara yang dipakai dipandang oleh mereka masih wajar karena kekurangtahuan tentang cara yang ramah lingkungan ataupun acuh karena ingin mendapatkan penghasilan yang cepat dan banyak. Begitu pula dengan elang Brontok yang mungkin karena kesulitan mendapatkan mangsa dihutan dan akhirnya memangsa ayam kampung milik warga. Keduanya sama-sama ingin mempertahankan hidupnya, ingin melanjutkan generasinya. Maka dari itu perlu saling memberikan timbal balik yang baik antara manusia dengan satwa liar demi keberlangsungan alam yang hanya satu ini.
Namun manusia adalah mahluk yang mampu berpikir, dialah yang dominant. Maka manusialah yang wajib menjaga, melindungi mahluk lainnya salah satunya adalah Elang Brontok. Demi kerlangsungan manusia itu sendiri.
Ahhhh...kasihan sekali elang brontoknya..
ReplyDeleteLagian petani ngapain pakai pestisida pula sih???
Udah tau beracun...
Artikelnya menarik infonya bagus..