Dono Waluyo, atau biasanya sering kami panggil dengan sebutan Pak Dono. Pria kelahiran Pemalang, 4 Oktober 1962 ini beberapa tahun silam telah mempersunting istri bernama Nur Ayu Apsari dan sampai sekarang telah dikaruniai dua orang anak bernama Nur Kintani Lisan (18 tahun) dan Agung Mukti Raharjo (10 tahun). Ditengah kesibukannya sebagai Staff stasiun TVRI Gunung Sega sejak tahun 2000, beliau selalu menyempatkan diri untuk melakukan monitoring Raptor Migran yang kebetulan melewati menara stasiun tempat ia bekerja.
Menurut penuturan beliau, kegiatan ini telah dilakukannya sejak tahun 2005 bersama Fransisco Germi. Germi sendirilah yang mengajarinya cara menggunakan binokuler sampai dengan cara mengidentifikasi elang-elang migran yang melintas di kawasan Gunung Sega. Pria yang lekat dengan jumper putihnya yang kusam dan kaca mata hitam saat pengamatan ini memang tidak punya basic sebagai Ornithologis, maklum dia dulunya jebolan mahasisiwa lulusan D1 tehnik Elektro. Walaupun begitu, kami sempat dibuatnya terbengong-bengong menyaksikan kejelian dan keakuratannya dalam mengidentifikasi raptor migran. Bahkan ia sekarang telah piawai memainkan fokus lensa Bushneil kaliber 8x45, satu-satunya senjata pengamatan yang ia warisi dari Germi. Awalnya ia menggangap kegiatan monitoring Raptor Migran ini sebagai kegiatan iseng-isengan atau sekedar untuk mengisi waktu luangnnya. Namun lambat laun ia merasa ketagihan. “Saya koq seneng ya mas ngamati burung ini. Rasanya ada yang kurang mas kalau saya ‘ndak melakukan pengamatan ini, seakan sudah jadi tanggung jawab moral pada hal kalo’ saya ‘ndak melakukan pengamatan ini kan juga ‘ndak pa-pa”, begitu tuturnya.
Pengamatan raptor migran ini telah dilakukannya sejak tahun 2004, namun saat itu ia sekedar belajar dasar-dasar pengamatan. Berlanjut tahun 2005, Pak Dono yang saat itu masih dipandu oleh Germi melakukan pengamatan secara rutin. Dalam periode tersebut tercipta rekor pencatatan mencapai 91.323 raptor migran yang melintasi kawasan Gunung Sega. Kemudian ditahun 2006 sampai dengan sekarang ia mulai mandiri, melakukan pengamatan sendiri tanpa di temani oleh Germi. Paling-paling sesekali bila kami punya waktu luang, kami menemani pak Dono untuk monitoring raptor migran. Sifatnya yang sederhana dan senyum ramah yang tak pernah hilang dari wajahnya senantiasa membuat kami kerasan dan kangen untuk melakukan pengamatan bersama beliau lagi.
Sambil menyulut rokok Gudang Garam filter kegemarannya, ia menjelaskan secara runtun pengalamannya selama 6 tahun mengamati raptor migran. Katanya, perbedaan yang paling mencolok adalah semakin berkurangnya jumlah raptor migran yang melewati Gunung Sega ini. Sedangkan untuk jenis raptor migran yang melintas dari tahun ke tahun masih tetap didominasi oleh empat kelompok besar yaitu Elang Alap Cina (Accipiter soloensis), Elang Alap Nipon (Accipiter gularis), Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) dan Alap-alap Kawah (Falco peregrinus). Terdapat tiga jalur besar raptor migran yang dapat terpantau dari spot ini. Yang pertama, jalur dari sebelah kanan Gunung Agung. Raptor dari arah ini akan melintas di atas daerah Tirtagangga dan kemudian menyeberang melewati selat Lombok. Jalur yang ke dua adalah jalur dari arah Bebandem melintasi Abang. Jika hembusan angin bagus, di daerah Abang ini lah biasanya raptor migran melakukan ativitas soaring. Di jalur ini pula lah kita biasanya sangat mudah untuk mengidentifikasi jenis raptor migran yang melintas. Dan jalur yang terakhir adalah jalur dari sebelah kiri Gunung Agung. Raptor migran yang mengambil jalur ini akan berbelok dan soaring di daerah Culik lalu melintas di atas Gunung Bagas yang kebetulan berada di sebelah kiri shelter pengamatan kami.
Selama pengamatan, Pak Dono mencatat pukul 10.00-14.00 Wita adalah rentang waktu yang ideal untuk melakukan pengamatan di daerah ini. Maklum, faktor non-teknis seperti tutupan kabut, mendung dan hujan sering kali menjadi faktor penghalang saat pengamatan. Bila hembusan angin bagus, yaitu angin yang berasal dari arah Barat Daya dengan kisaran kecepatan 5-15 km/jam, ditambah lagi cuaca cerah dengan tutupan mendung yang hanya sebatas 5% maka dijamin kita akan puas melihat raptor migran melintas tepat di hadapan kita dengan mata telanjang, tanpa menggunakan bantuan binokular.
Konon katanya menurut penuturan lelaki berzodiak Libra ini, dulu ketika beliau masih kecil, burung-burung ini (raptor migran red.) digunakan sebagai pertanda bahwa musim panen dan musim berlayar mencari ikan telah tiba. Bahkan dulu anak-anak kecil mempunyai nyanyian khas untuk menyambut datangnya raptor migran ini.
“Tepung lumbung dhowo ulo-ulo,
anake lungo ngentrung, bapake lungo njolo”
Begitulah sepenggal syair yang dinyanyikannya, yang artinya Tepung lumbung: burung-burung kecil yang melayang di angkasa bagai tepung di lumbung (tempat untuk menyimpan hasil panen seperti beras, jagung, gandum dll.). Dhowo ulo-ulo: berjajar memanjang seperti Ulo (ular). Anake lungo ngentrung: anaknya bermain kentrung (di Jawa dikenal sebagai alat musik semacam gitar kecil berdawai empat). Bapake lungo njolo: ayahnya pergi “Njolo atau pergi menjala mencari ikan.
Lalu sambil diselingi canda khasnya, kembali ia mengisahkan suka duka selama mengamati raptor migran di tempat ini.
Tak terasa kopi yang ia suguhkan sudah habis kami teguk bersama-sama. Kabut pun mulai turun menyelimuti Gunung Sega. Kami beranjak pamit pulang walau kami tau hati ini sebenarnya berat dan pengen lebih lama lagi tinggal di tempat ini bersama beliau. Tapi apalah daya kami…, kami juga harus melanjutkan pekerjaan agar dapur rumah kami bisa terus mengepul. Akhirnya pria dengan sorot mata sendu ini berpesan pada kami: “Hati-hati di jalan lho ya. Ga usah ngebut-ngebut, kalo udah nyampek rumah sms yaa…”. Dan kami pun bergegas pulang dan sekali lagi meninggalkan dia sendiri……
Itulah sepenggal oleh-oleh kami dari Gunung Sega tahun ini. Kisah hidup yang menginspirasi kami semua. Sudah selayaknya kita bercermin dari sosok seperti Pak Dono. Kerutan di dahi dan warna legam kulitnya karena terpanggang terik matahari setelah sekian lama pengamatan seolah menjadi relief bisu kegigihan tekadnya. Walaupun berbekal binokuler yang lensanya sudah ditumbuhi jamur, tak pernah sekalipun mengendurkan semangatnya untuk melakukan pengamatan setiap hari. Kaca mata hitam, topi merah dan jumper lusuh yang senantiasa ia pakai saat pengamatan seakan ikut menjadi energi pembakar semangat kami untuk sebisa mungkin melakukan hal yang terbaik bagi bumi ini. Pak Dono hanya berharap khalayak umum lebih banyak tahu tentang adanya lintasan raptor migran ditempat ini. Sukur-sukur kalo ada pihak “yang berkompeten” memberikan perhatian yang serius tentang fenomena langka ini. Beliau juga punya cita-cita agar kelak ada yang mewarisi kegiatan monitoring raptor migran ini, minimal dari anaknya sendiri. Sungguh harapan serta cita-cita yang sederhana, tidak muluk-muluk. Dan jika ditanya mau sampai kapan mengamati raptor ini, beliau hanya menjawab singkat: “Sampai saya masih sanggup untuk melakukannya….”.
Salam hijau untuk bumi yang kian memerah,
= There’s a hope on every fright, and there’s a light on every night =
No comments:
Post a Comment