oleh : andry khusnul ichsan
Selasa, 29 Desember 2009 : 19.00 Wita......: “Usai hujan reda, lampu kosanku mati lagi”.
Hal yang lumrah terjadi karena sudah tiga bulan ini diberlakukan pemadaman bergilir untuk daerah Denpasar dan sekitarnya. Maklum sampai saat ini
Tau ga’, malam ini ada yang aneh.
Apa itu…, aku pun juga tak tau. Ahh…, Forget it.
Kembali aku bernyanyi. Sesekali tercium bau tanah basah effect dari guyuran hujan sore tadi. Sayup-sayup terdengar suara Jangkrik yang ber-kamuflase dalam gelap malam, saling bersahutan seolah tak mau kalah dengan suara gitarku dan dentuman kembang api. Eh, sebentar….., kembang api??? Yaaah..., kembang api. Inilah secuil perubahan fenomena sosial seiring dengan pergantian tahun yang terjadi hampir di seluruh belahan bumi, tak terkecuali
Malam semakin larut………,
Aku lihat jam tanganku, angka digitalnya menunjukkan pukul 21.00.
Malam ini semua terasa sintru dan suwung. Hal yang sama kurasakan saat hari raya Nyepi tiba. Semua lampu mati, jalanan sepi, senyap…. tanpa aktivitas. Terasa seperti
Hampir semua fakta sains mengungkapkan bahwa zaman es telah dialami Bumi kita. Bagaikan sebuah siklus, Bumi kita memasuki periode dingin dan periode panas secara bergantian. Bahkan dalam buku yang berjudul, “The Fingerprints of the Gods”, mendeteksi adanya peradaban modern yang diduga lebih maju dan canggih ketimbang peradaban kita saat ini. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya “monumen” misterius, antara lain Nazca di Peru, Tiahuanaco di Bolivia, kompleks Piramida dan Sphinx di Giza Mesir dan Poompuhar yang sekarang bersemayam di dasar laut India. Lalu ke mana perginya peradaban itu? Jika memang mereka luar biasa canggih, bagaimana mungkin peradaban mereka hilang nyaris tanpa bekas? Spekulasi yang paling masuk akal adalah: Hancurnya zaman es yang menjadi titik klimaks dari bencana mahadahsyat yang menghapus hampir seluruh kehidupan di bumi.
Zaman es terakhir diperkirakan terjadi 10.000 tahun yang lalu. Setelah itu, Bumi perlahan-lahan kembali memasuki “periode panas”. Bagi teman-teman yang sudah pernah melihat atau pun membaca presentasi Al Gore, tentu tahu bahwa Bumi kita hari ini telah memecahkan rekor sebagai Bumi terpanas sepanjang sejarahnya. Jadi, bisa dibilang, Bumi kita kini bukan lagi “panas”, melainkan “PUANAS POOL!!!”.
Dalam buku “The Coming Global Superstorm” dipaparkan bahwa fenomena superstorm terjadi karena salinitas (kadar keasinan) air laut yang terus menurun akibat gelontoran air tawar yang berasal dari cairnya es kutub. Salinitas air laut sesungguhnya berperan esensial dalam regulasi arus laut dunia. Kombinasi kompleks antara air asin dan air tawarlah yang menciptakan arus Atlantik Utara atau North Atlantic Current (NAC). Ketika es di Kutub Utara mencair, maka jumlah air tawar yang tak terperi banyaknya itu akan mengganggu keseimbangan kombinasi air asin dan air tawar di perairan laut dunia. Dan ketika NAC berhenti berarus karena rendahnya salinitas air laut, maka udara beku dari Arktik bertubrukan dengan udara hangat dari Selatan. Tubrukan inilah yang akan mengakibatkan sebuah badai mahadahsyat.
Tahun lalu, tepat bulan Februari 2008, dunia dikejutkan oleh runtuhnya bongkahan es Wilkins di Arktik seluas sepertiga
Uups…., tapi tunggu Bro. Tiba-tiba aku teringat argumentasi favorite para perokok (ga nyambungkan??? Red). “Nggak merokok pasti mati, merokok juga mati, jadi buat apa berhenti merokok?”. Nah hubungannya adalah sebagai berikut: Jika memang Bumi ditakdirkan untuk bersiklus, dan zaman es merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi, jadi untuk apa bertindak?
Aku percaya bahwa Bumi pasti memiliki mekanisme alamiah untuk menjaga keseimbangannya. Manusia boleh saja merasa berkuasa atasnya, tapi Bumi akan bergerak ke arah yang memang harus dituju, terserah kita berkata dan bertindak apa. Namun itu tidak berarti korelasi Bumi dan manusia merupakan korelasi yang terpisah. Barangkali kita tidak bisa mencegah, tapi kita bisa menunda. Mungkin ini adalah pendekatan paling realistis yang bisa kita fikirkan sementara ini, sebagaimana tanda bahaya bencana alam seperti tsunami atau puting beliung yang diperjuangkan agar bisa mendeteksi bencana lebih awal. Kalaupun bencana itu tidak bisa dicegah, tapi dengan tanda bahaya yang lebih awal, maka tenggat waktu pun lebih panjang untuk kita menyelamatkan diri. Jika umat manusia bisa memberi cadangan napas satu-dua pada Bumi, barangkali kita pun punya cadangan waktu untuk lebih bersiap dan menyelamatkan peradaban ini.
Seperti malam ini, malam yang sangat menginspirasi bagiku. Serasa Nyepi yang salah mongso. Hakikatnya Hari Raya Nyepi merupakan prosesi menyambut tahun baru Caka (baca:Saka.Red) yang sungguh tidak biasa jika disandingkan dengan cara sebagian besar umat manusia di zaman modern ini dalam merayakan tahun barunya. Satu pulau dengan serempak tenggelam dalam keheningan. Hidup sehari tanpa menyalakan lampu, tanpa suara, tanpa keluar ke mana-mana. Secara tradisi, keheningan dan gulita ini dimaksudkan agar segala bentuk kekuatan jahat terkecoh, mengira Pulau Bali telah ditinggalkan oleh penghuninya, sehingga mereka pergi ke tempat lain yang lebih bising (Pulau Jawa barangkali???Red).
Jika alasan tradisi ini dilepaskan, menghentikan kesibukan satu pulau untuk satu hari saja adalah tindakan yang sangat-sangat berani. Terutama dalam kehidupan modern kita yang begitu tergantung pada kebisingan dan gebyar cahaya. Bisakah kita membayangkan satu hari berbisik-bisik, tak keluar rumah, tak bekerja, tak berkendara, membiarkan malam bergulir tanpa menyambutnya dengan terang lampu? Bukan itu saja, Nyepi sekaligus juga menjadi momen keluarga. Dalam gelap mereka berkumpul, dengan berbisik saling mengobrol dan bercerita.
Bayangkan hari semacam Nyepi terjadi dalam skala lebih luas, bukan hanya dalam satu pulau tapi satu negara, bahkan satu Bumi. Dan poin yang perlu digaris bawahi adalah, gulita dan hening itu bukan dilakukan karena terpaksa, karena bencana, melainkan dengan sadar dalam rangka mencegah sebuah bencana. Apakah mungkin? Ga’ usah sangsi Bro…. Pulau Bali telah menjadi laboratorium alam yang membuktikan bahwa itu benar-benar mungkin terjadi. Dalam konferensi Climate Change di Bali akhir tahun lalu, Hira Jhamtani mengatakan bahwa dengan satu hari Nyepi, Pulau Bali menghentikan emisi sekurangnya 20,000 ton CO2. Sungguh kontribusi yang cukup besar untuk bumi kita yang semakin tua.
Dalam bahasa Sunda, “bumi” berarti rumah. Jadi, “diam di bumi” sama dengan diam di rumah. Entah kapan proposal “World Silent Day” bergerak dari fase embrio menuju tindakan matang dan nyata. Yang jelas, aku akan mendukungnya. Membayangkan malam yang khidmat dan luar biasa tenang, pagi hari yang luar biasa segar, dan yang lebih penting lagi, bagaimana manusia satu Bumi akhirnya dipersatukan, bergerak dengan satu semangat untuk menyelamatkan rumahnya. Menolong Bumi dengan diam di bumi.
Oh iya…, sewaktu aku beranjak menuangkan ide ini ke dalam sebuah tulisan berformat Office Word, listrik kembali mengaliri kosanku. Menghidupkan kembali lampu, TV, tape dan perabotan lainnya yang bersenyawa dengan energi mahal ini. Semua kenyamanan ini… kemudahan ini… telah diberikan alam pada kita selama bergenerasi-generasi. Cuma-cuma. Jika minimal sejam saja berpuasa dari itu semua dapat menolong alam untuk bertahan, tidakkah itu menjadi hadiah yang mudah, murah, sekaligus tak ternilai harganya untuk bumi kita?
Salam Hijau,
Bee
JADI TAHUN 2012 NE?
ReplyDeleteKALO KATANYA ICAL KEPADA TEMANNYA, BOREK. ANGGOTA LASKAR PELANGI YANG MANIAK OTOT: "KALO AKU TAK RAJIN SHOLAT, MAK KAU HARUS PANDAI BERENANG" LAH...NYAMBUNG GAK? HEHEHEHE...