Senin Siang...,
Catatan kelam awal pekan.
Siang itu aku belanja disalah satu supermarket ternama di kota ini. Sebenarnya sich ini bukan aktifitas belanja seperti orang-orang pada umumnya, karena hari itu aku mendapat tugas Price Check dari kantor. Yaah..., like spy on job kecil-kecilanlah. Singkatnya ini adalah kegiatan peng-Compare-an harga antara perusahaan satu dengan yang lainnya. So tujuanku sebenarnya bukan untuk berbelanja.
Usai Price Check, rasa haus mencengkeram kerongkonganku. Aku bergegas mengitari bay (istilah rak dalam industri Ritaile.) yang didalamnya berjajar rapi aneka brand soft drink. Mungkin sudah ratusan kali aku berjumpa dengan produk-produk tersebut. Saking familiarnya, aku sampai hafal walau hanya dengan melihat sekilas bentuk botolnya. Saat aku sibuk memilih soft drink, tiba-tiba seorang SPG cantik menawariku produk soft drink yang lagi in akhir-akhir ini. Maklum produk baru. Sama halnya dengan pengalaman jatuh cinta pada pandangan pertama. Kesan yang ditimbulkan pun harus benar-benar mengena. Khususnya dalam bisnis ini, pembentukan Brand Image memang memegang pengaruh sangat kuat. Bukan hanya kemasan produknya, tapi juga tampilan SPG-nya yang menggoda. Perhatikan dengan seksama ribuan iklan soft drink, mayoritas mereka menggunakan cewek sebagai bintangnya karena para pengiklan tahu bahwa siluet tubuh perempuan bisa membantu penjualan sekaleng minuman dingin, yang sesungguhnya tidak punya hubungan langsung dengan lekuk pinggul dan belahan dada.he...he...he..., just kidding Swity.
Beberapa menit selanjutnya, sudah pasti bisa ditebak. Kami mengobrol. Yah sekedar speak-speak bullshitt tentang produk baru sampai dengan nama dan alamatnya. Meski begitu, bagiku informasi ini sangat berharga. Siapa tau informasi ini bisa dijadikan oleh-oleh untuk dihidangkan saat Most Wanted Article Meeting nanti sore. Tak berselang lama setelah lidah kita bermain silat, kita akhirnya berpisah. Aku ambil sekaleng soft drink dan segera bergegas berbaris mengikuti antrean panjang di kasir.
Keramaian manusia di pusat perbelanjaan sungguh bukan pemandangan baru bagiku. Apa lagi di kota besar seperti Denpasar yang masyarakatnya cenderung bertipe konsumeris. Tapi saat itu aku baru tau, mengantre di kasir bisa menjadi pengalaman yang begitu miris dan mengiris.
Sambil menunggu giliran, aku lihat di depanku seorang ibu-ibu berbelanja sampai tiga troli.
”Aku melihat ada yang aneh”.
Foto: www.image.google.co.id
Lewat pengeras suara, beberapa kali terdengar imbauan untuk mengurangi sampah plastik, bahwa Bumi sedang mengalami pemanasan global, dan sudah tersedianya kantong belanja ramah lingkungan yang bisa dibeli dengan harga terjangkau (ada dua pilihan: dua ribu perak berbahan plastik daur ulang dan sepuluh ribu perak untuk yang berbahan polyethylene). Lalu di dekat kasir, tertera sebuah tulisan yang bunyinya kira-kira begini: petugas kasir diharuskan untuk menawarkan pulsa isi ulang dan kantong belanja ramah lingkungan pada para pembeli. Sampai saat giliranku membayar tiba. Memang betul aku ditawari pulsa. Tapi tidak kantong belanja tadi. Dan, berbarengan dengan pengumuman yang bergaung di seantero toko mengenai pemanasan global, aku mengamati bagaimana belanjaan demi belanjaan dimasukkan ke kantong-kantong kresek oleh tangan-tangan gesit yang sudah bergerak terampil bagai robot. Tak sampai penuh, bahkan kadang setengah pun tidak, mereka mengambili kantong plastik baru. Yang belanja pun tenang-tenang saja menyaksikan. Kenapa tidak? Berapa pun kantong plastik yang dipakai, itu sepenuhnya terserah pihak supermarket. Gratisan pula.
Sambil mengamati gerakan gesit tangan petugas, dalam hati aku bertanya: haruskah seboros itu? Barangkali memang kebijakan dari toko yang mengharuskan berbagai jenis barang untuk tidak digabung dalam satu kantong. Tapi kenyataannya, kantong-kantong plastik setengah penuh itu hanya berfungsi sebagai alat angkut dari kasir menuju troli, lalu dari troli menuju bagasi mobil, lalu dari mobil menuju rumah. Kalaupun beberapa barang beda kategori tersebut harus digabung, asal tidak terkocok-kocok di mesin pengaduk semen. Honestly, how many amount of loss can possibly be done with those stuffs? Pernahkah kamu menghitungnya?
Seperti dugaanku, hal yang mengerikan pun terjadi. Aku melihat puluhan orang keluar dari sana rata-rata membawa 4-6 kantong kresek. Belum termasuk plastik-plastik yang membungkusi buah dan sayur. Jika semua ini direkam dalam video, lalu satu demi satu gambar dihilangkan dan dibiarkan gambar plastiknya saja, niscaya kita akan melihat buntelan-buntelan putih licin yang mengalir bagai sungai dari supermarket menuju parkiran dan akhirnya teronggok tak berguna di TPA Suwung.
Beberapa supermarket di negara ini memang telah selangkah lebih maju. Mereka menjual green bag, kantong belanja yang bisa dipakai berkali-kali. Green bag tersebut pun bisa didapat dengan gratis. Caranya? Mengumpulkan 70 stiker. Satu stiker didapat dengan belanja 10 ribu, dan stiker berikutnya di kelipatan 50 ribu. Jadi belanjalah dulu 10 ribu sebanyak 70 kali, atau belanja diatas nominal 1 juta untuk mendapatkan tas itu secara cuma-cuma. Wow.....!!!
Foto: Bee
Memang, dibandingkan beberapa tahun yang lalu, inisiatif dari pihak supermarket/hypermarket sudah jauh lebih baik dan kreatif. Namun, apakah tidak bisa kita bergerak lebih cepat, lebih tajam dan lebih mengena? Lagi-lagi dan, mungkinkah perspektif yang digunakan pun sebetulnya terbalik? Jika benar-benar ingin mengurangi sampah plastik, kenapa justru pembeli (dalam hal ini orang yang tidak ingin menggunakan kantong kresek) malah menjadi pihak yang harus mengeluarkan biaya ekstra dan tidak mendapat insentif apa pun? Sementara yang pakai kantong kresek tetap melenggang kangkung tanpa sanksi apa-apa? Tidakkah ini jadi indikasi bahwa gerakan Go-Green itu 'lebih mahal' dan 'repot', sementara yang sebaliknya justru 'gratis' dan 'praktis'?
Dimataku, penjualan kantong-kantong ramah lingkungan tersebut pun, selama ini masih menggunakan bahan baku baru dan bukan hasil daur ulang, akhirnya cuma jadi komoditas biasa. Seperti halnya jualan sabun atau sayur. Sementara yang paling penting adalah BERHENTI memproduksi barang baru dan menggunakan ulang apa yang ada. Yang paling penting bukanlah mencetak tulisan "Selamatkan Bumi" di selembar kain kanvas atau di kain polyethylene lalu menjudulinya tas ramah lingkungan, melainkan membuat kebijakan yang benar-benar realistis dan berpihak pada lingkungan.
Dari data statistik jaringan supermarket/hypermarket di Indonesia, penggunaan kantong kresek bisa mencapai 300.000 lembar per hari. 700 ton sampah plastik diproduksi hanya oleh Jakarta saja. Dan menurut Kementrian Lingkungan Hidup, komposisi sampah plastik di kota-kota besar seperti Surabaya dan Bandung meningkat sejak tahun 2000 dari 50% ke 70%. Kita benar-benar sudah dicekik plastik.
Pikiranku terus berandai-andai: jika memang pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk menekan produksi dan penggunaan kantong plastik, dan andai aku adalah pengambil keputusan di rantai supermarket tadi, maka aku akan menetapkan harga 2000-5000 rupiah untuk satu kantong kresek, yang barangkali akan lebih efektif untuk 'memaksa' orang membawa kantong sendiri ketimbang menjual kantong ramah lingkungan seharga 10 ribu. Masuk akal bukan...? Dan dana dari 'sanksi' pembuangan kantong kresek yang tidak bertanggung jawab tersebut kemudian disalurkan untuk kegiatan penghijauan dan aktivitas lingkungan hidup lainnya. Di sebagian negara di Eropa, ternyata pengenaan biaya pada kantong belanja telah berhasil menurunkan sampah kantong plastik hingga 90%.
Aku sendiri cukup salut dengan keberanian Makro. Barangkali cuma di Makro berlaku peraturan tegas di mana konsumen sama sekali tidak disediakan tas kresek untuk setiap pembelanjaannya.(Sori, sekalian promosi.he..he..he...). Setiap pembeli yang pergi ke sana mau tak mau harus siap mental untuk membawa kantong belanja sendiri atau berebut dus-dus kosong yang memang disiapkan di sana. Kebijakan seperti itu dapat dimaklumi karena Makro memang menjual barang-barang berukuran dan berkuantitas besar, jadi alasan sebenarnya juga tidak melulu lingkungan. Hee...he...he... Namun bukannya tidak mungkin jaringan supermarket dan hipermarket lainnya mengikuti jejak Makro dengan mengusung alasan lingkungan, sebagaimana yang digaungkan lewat pengeras suaranya.
Aku keluar dari aliran sungai plastik tadi menuju parkiran motorku. Hati masih miris dan teriris. Sesekali bertanya, apakah khayalanku terlalu tinggi? Apakah realistis jika berharap pihak produsenlah yang berani muncul dengan kebijakan tegas, sementara para konsumennya sendiri tidak mau belajar mengedukasi dan melatih dirinya? Namun, sampai kapan kita bertahan di balik sekat-sekat kaku yang memisahkan pembeli dan penjual, pemerintah dan masyarakat? Sementara belitan plastik yang mencekik tanah dan air Indonesia sudah terlihat jelas di depan mata.
Note: Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggurui atau menghakimi siapa pun. Hanya saja, lakukan apapun yang bisa kamu lakukan untuk menyelamatkan bumi ini. Kalau bukan kita, siapa lagi???