Oleh: Andry X-san
Saat itu mendung masih menggelayuti langit kota ini, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.
“Hai, kamu yang di sana.”
“Iya, ini untuk kamu….!!!”
Maaf karena harus seperti ini…
Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.
Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup seger-waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi edan.
Maafkan saya…
Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang juga ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu yang katanya “Khalifah” pengayom bumi.
Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup bebas, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.
Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah sangkar sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.
Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu…
Hidup lepas…, layaknya kepak sayapku yang ingin terbang bebas dan dendangkan kicauanku saat hujan atau pun panas.
Hidup seutuhnya..., seperti ujung rantingku yang selalu menantang matahari dan akarku yang jauh menghujam pusaran bumi.
Hidup bahagia…, bersama kerabatku dan tak lagi kalian buru untuk sekedar menjadi bahan pelengkap koleksimu.
Hidup aman…, di hutan dengan anak-cucuku yang lucu, bukan di taman bermain tempatmu melampiaskan obsesi dan kegilaanmu.
Jadi tolong biarkan saya menjadi diri sendiri….
Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Biarkan saya berpetualang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun. Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya bersua dengan separuh kerabat saya yang telah lama terkungkung.
Tolong biarkan saya hidup. Itu saja….
Salam penuh cinta,
-------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan? Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, lalu mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk menguasai dan duduk di singgasana.” (Emha Ainun Nadjib).
--------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------