Friday, November 19, 2010

JERITAN ALAS KLOTHOK

Oleh: Andry X-san




Saat itu mendung masih menggelayuti langit kota ini, kendati matahari mulai muncul dan menghapus sisa-sisa gerimis yang membuat hari yang (semestinya) cerah menjadi sedikit suram.


Hai, kamu yang di sana.

Iya, ini untuk kamu….!!!


Maaf karena harus seperti ini

Saya sudah kehabisan energi dan upaya untuk mengomunikasikan ini denganmu. Jadi, jangan salahkan kalau saya menggunakan cara ini demi ‘berbicara’ kepadamu. Saya tak peduli, bahkan jika kamu tak pernah membaca tulisan ini – yang penting saya sudah menyampaikannya, meski ini jalan terakhir yang ingin saya tempuh.

Kenapa saya memilih cara ini? Karena saya masih ingin hidup seger-waras. Saya belum ingin kehilangan akal sehat, alias jadi edan.


Maafkan saya

Saya lelah. Hidup dalam pengharapanmu, hidup dalam mimpi-mimpimu. Setelah sekian lama, baru saya sadar, saya memiliki impian saya sendiri. Yang ingin saya kejar. Yang juga ingin saya raih. Saya sudah terlampau penat hidup dalam ekspektasi dan impian orang lain, meski orang itu kamu yang katanya “Khalifah pengayom bumi.

Sama seperti kamu, saya juga memiliki impian yang ingin saya capai. Saya tak lagi peduli apakah saya akan aman di luar sana, apakah saya akan bahagia, apakah saya akan berhasil, atau jatuh terpuruk seperti argumenmu selama ini. Saya hanya ingin hidup bebas, dan saya akan menjalani keputusan ini lengkap dengan segala resiko dan konsekuensinya.


Mimpi-mimpi ini harus tumbuh. Terlalu lama saya menyimpannya sendiri. Terlalu lama saya membiarkannya tertimbun, terabaikan. Mimpi-mimpi ini layak dibiarkan bertunas, secara alamiah, sebagaimana mestinya. Dan sebagaimana kehidupan terus bergulir, hati ini harus terus mengalir, karena ia cair. Ia tak dapat dibekap dalam sebuah sangkar sempit. Kecuali kamu ingin saya mati perlahan-lahan di dalamnya. Dan percayalah, saya masih ingin hidup.


Saya tak meminta banyak. Tolong biarkan saya ‘hidup’. Hanya itu

Hidup lepas…, layaknya kepak sayapku yang ingin terbang bebas dan dendangkan kicauanku saat hujan atau pun panas.

Hidup seutuhnya..., seperti ujung rantingku yang selalu menantang matahari dan akarku yang jauh menghujam pusaran bumi.

Hidup bahagia…, bersama kerabatku dan tak lagi kalian buru untuk sekedar menjadi bahan pelengkap koleksimu.

Hidup aman…, di hutan dengan anak-cucuku yang lucu, bukan di taman bermain tempatmu melampiaskan obsesi dan kegilaanmu.


Jadi tolong biarkan saya menjadi diri sendiri….


Jika menerima saya apa adanya terlalu sukar bagimu, maka saya tak meminta untuk diterima. Lepaskan saya. Biarkan saya terbang. Biarkan saya berpetualang. Karena saya bukan milikmu. Saya bukan milik siapapun. Jangan cegah saya dengan cara apapun, dengan dalil apapun, dengan alasan apapun. Biarkan saya bersua dengan separuh kerabat saya yang telah lama terkungkung.


Tolong biarkan saya hidup. Itu saja….


Salam penuh cinta,



-------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------

Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan? Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, lalu mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk menguasai dan duduk di singgasana.” (Emha Ainun Nadjib).

--------------------------------------------------------------------------------------

-------------------------------------------------------------

Thursday, November 18, 2010

“I'am NOT a SEXY BIRD” (Refleksi Citra Dalam Sebuah Peradaban)

Oleh: Andry X-san

Genap setengah bulan sudah saya menjejakkan kaki di kota ini. Sebuah kota kecil bernama Kediri. Maklum kota yang dulu pernah membesarkan saya, kini telah menjelma menjadi kota modern. Kota yang sedang menggeliat dari tidur panjangnya. Bangunan raksasa dan taman hiburan berskala besar seakan saling bersaing menunjukkan eksistensinya.

Dan saya semakin tenggelam di dalamnya.

Sepanjang perjalanan saya hampir tidak dapat menemukan mereka. Yaa…, mereka adalah teman-teman saya. Jujur hari ini saya begitu kangen dengan mereka. Pada hal dulu, hanya dengan melongok di teras kost-an maka setidaknya saya masih bisa menikmati indahnya tarian ekor Kipasan Belang, riuh rendahnya canda Kutilang dan Cerucuk, decitan manja Burung penghisap madu dan “Prinia Perenjak serta puluhan Burger (sebutan saya untuk Burung Gereja Erasia red.) dan barisan laskar Bondol mulai dari Bondol Jawa, Bondol Haji dan Bondol Peking. Semuanya bisa saya nikmati dengan gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Namun di sini…, saya harus membayar mahal untuk melihatnya.

Kata orang mereka bukan termasuk burung yang sexy. Haaah…, sexy?! Lalu saya pun coba menerka apa sebenarnya parameter ke-SEXY-an seekor burung? Bulunya yang indah kah, suaranya yang merdu kah atau gerakkannya yang lincah kah? Jika label-lebel ini telah terpatri layaknya wing marker yang menempel di sayap mereka, lantas orang bisa memburu mereka seenaknya? Kalo sudah begitu maka jangan menyesal kawan jika beberapa tahun ke depan Emprit akan punah dan tinggal mitos belaka. Apa yang dicap kontroversial pada satu masa akan menjadi fosil pada masa yang lain. Apa yang kita anggap sexy disuatu abad akan berubah menjadi ugly di abad-abad selanjutnya. Dan apa yang sekarang kita tanggapi dengan cengangan dan banjur kekaguman, cepat atau lambat, akan kita lewati dengan perasaan gersang.

Selalu ada lebel-label pen-Citra-an yang harus menempel pada suatu hal yang hanya akan mengakibatkan bergesernya tradisi dan nilai-nilai luhur. Karena inilah orang sering bilang bahwa hidup itu dinamis. Seperti kasus melambungnya harga underwear hanya karena lebel tersebut sering dipakai oleh selebritis dunia seperti Marlin Monroe, Madonna, Jenifer Lopez dan lainnya. Mahalnya harga sepatu-sandal yang pada hal fungsinya sebatas alas kaki agar kaki tidak menginjak taik. Dan jangan kaget bila besok ketika bangun tidur kita dapati harga jarum melambung tinggi tak terbeli hanya karena merek tersebut menjadi nge-trend lantaran sering dipakai Ki Joko Bodho untuk nyantet orang. Hahahahahahahaaa…..

Bukan itu saja kawan, simak baik-baik. Perempuan yang merasa terancam oleh keriput lantas berperang melawan penuaan dengan serum dan botox. Perempuan yang percaya bahwa citra lebih putih berarti lebih cantik akan berperang melawan melaninnya dengan krim pemutih. Melihat mereka yang lebih sukses dan lebih berpengaruh, kita lantas bertempur dengan keinginan dan hasrat untuk ikut lebih dan lebih lagi. Setiap hari kita dijajah oleh pancaran citra, keinginan baru, harapan baru, dan timbullah konflik baru dari lebel-lebel yang sebenarnya kita sendirilah yang menempelkannya. Lalu, siapakah pahlawan yang kita harapkan untuk perang tak berkesudahan ini? Saya yakin dalam setiap peralihan posisi bandul, akan selalu ada kawanan ‘martir’ dan ‘pahlawan’ yang muncul. Tapi siapakah gerangan mereka?

Saya yakin akan ada letupan nama-nama di benak Anda, dari mulai Janis Joplin, Jonathan Davis-nya Korn sampai dengan Nietzsche dan Heidegger. Pada citra mereka itulah ditanamkan representasi kita terhadap gerakan resistensi heroik melawan rambu normalitas ataupun mainstream. Jangan heran kalau label absurditas dan abnormalitas kini bukan lagi celaan, melainkan klaim pujian dan simbol keberanian.

Namun bagaimana kalau saya tawarkan sosok yang lebih mencengangkan lagi? Ambillah cermin. Berkacalah di sana. Detik pertama pikiran Anda mulai merumuskan bayangan yang muncul, detik itu juga Anda menemukan sang ‘pahlawan’. Anda adalah partisipan yang tidak kalah penting dalam proses perubahan wajah dunia. Terlepas dari Anda seseorang yang melek budaya, seorang apatis sejati, atau seorang korban mode.

Bercerminlah sekali lagi. Lebih dalam. Seberangilah bayangan fisik yang muncul, dan bedahlah tumpukan image yang selama ini telah membentuk Anda. Sesuatu yang telah membuat Anda memilih celana kargo, tas ransel, T-shirt band favorit, parfum tertentu, model rambut, CD kesukaan, hobi birdwatching, sampai cara berjalan. Citra apa yang tengah Anda perankan? Apakah sudah cukup keren? Cukup trendi? Cukup cool? Ketika ditanya demikian, kebanyakan dari kita bakal menjawab, “Ah, gue sih asik-asik aja.” Dan ketika dicecar lagi dengan pertanyaan ‘kenapa’, jawabannya adalah “Nggak tahu. Pokoknya suka aja."

Memang menolak dunia citra ini adalah usaha yang melelahkan dan butuh perjuangan panjang. Pulau Jawa tanpa citra ke-jawen-nya hanyalah segumpal tanah tak bernama. Indonesia tanpa citra adalah konstelasi pulau anonim. Adalah citra yang otomatis menghadirkan batas, rambu, penilaian, bla-bla-bla...., yang lalu diimajenansikan dalam realitas ini. Jadi, siapakah gerangan bayangan cermin yang Anda lihat tadi? Siapakah Anda sesungguhnya? Siapakah saya? Apakah realitas ini? Adakah sesuatu yang benar-benar sejati?

Citra memang membius. Citra bagaikan makhluk yang menuntut untuk terus diberi makan. Citra mengonsumsi perhatian kita. Detik demi detik. Nyaris tak memberikan kesempatan untuk bertanya. Akan tetapi, sama halnya dengan lambung, ada baiknya juga citra ‘berpuasa’ sekali-sekali. Ketika kita menjadi penonton yang berjarak, maka kita bisa memberi jeda sebentar pada diri kita. Tidak melulu menjadi obyek desiring machine (mesin hasrat). Kalau Anda beruntung, tentu saja. Tidak ada yang pasti di sini. Yang jelas, hidup rasanya mubazir apabila cuma terus menerus memberi makan pada mesin hasrat yang tak nyata.

Namun bercermin dan membedah refleksinya terkadang dapat menyelamatkan kita dari konflik superfisial yang tak perlu, seperti menghakimi teman yang tidak se-genre, berpusing-pusing menariki batas sana-sini dan bertingkah seperti satpam penjaga portal, karena seperti apakah sebenarnya Normal? Adakah kenormalan sejati? Adakah keabnormalan? Jangan-jangan semuanya adalah jajaran citra yang ingin diberi makan. Tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada yang lebih buruk.

Jadi setiap kali Anda bercermin, coba tembusilah tiap tingkap lapisan citra yang membungkus Anda selama ini. Realitas yang lebih segar mungkin akan muncul. Tepatnya, realitas yang lebih riil. Apa adanya..., hingga yang ada tinggal tiada. Dan mari kita tercengang bersama...


* Satu lagi artikel yang terinpirasi dari teman-temanku yang tlah terlupakan (kawanan burung yang tidak seksi). Terima kasih teman, hari ini saya telah bercermin melalui kalian...










































































































































Monday, November 15, 2010

BALI RAPTOR WATCH 2010 (part III-Selesai)

Oleh: Andry X-san

Tak terasa satu bulan telah terlewati. Menengadah, memandang birunya langit, putihnya awan dan titik-titik hitam yang lambat laun menjadi silhouette bentangan sayap dan tubuh puluhan burung raksasa. Kulit kami pun yang tadinya putih berseri kini menjadi hitam kusam tersengat teriknya matahari Bali. Ribuan peluh yang membasahi t-shirt kami pun sepertinya baru kemarin sore kering. Namun sekarang, semua terbayar LUNAS sudah…..

Dalam rentang waktu tersebut kami mencatat sebanyak 27.142 Raptor Migran yang melintasi Gunung Sega, Karangasem-Bali. Namun kalo boleh jujur, sebenarnya pengamatan ini pun kami lakukan tidak genap satu bulan penuh atau lebih tepatnya hanya 23 hari selama bulan Oktober ini.

Kemunculan Raptor Migran pertama yang teramati oleh rekan kami Pak Dono Waloyo tercatat tgl 6 Oktober 2010. Saat itu raptor migran yang melintas adalah 1 Accipiter soloensis, 1 Pernis ptilorhynchus dan 1 Falco peregrinus. Ini sekaligus merupakan catatan lintasan Raptor Migran dengan jumlah paling sedikit selama bulan Oktober. Tanggal 1 - 5 Oktober dan tanggal 7 - 9 Oktober 2010, cuaca di Gunung Sega hujan deras dan berkabut. Kondisi ini sangat tidak memungkinkan bagi kami untuk melakukan pengamatan. Sedangkan record terbanyak yang kami dapatkan yaitu tanggal 25 Oktober 2010 dengan total 3.659 yang terdiri dari 2.316 Accipiter soloensis, 561 Pernis ptilorhynchus, 5 Accipiter gularis dan 777 raptor migran yang tak teridentifikasi.

Secara keseluruhan selama bulan Oktober ini Accipiter soloensis tetap mendominasi jumlah raptor migran yang melintas (17.724) disusul oleh jenis raptor yang tak teridentifikasi (6.326) lalu Pernis ptilorhynchus (2.920), Accipiter gularis (118) dan yang terakhir adalah Falco peregrinus (52). Berdasarkan data yang telah kami record, titik puncak migrasi raptor bulan Oktober 2010 terjadi pada tanggal 25 Oktober dimana pada hari tersebut kami mencatat 3.659 raptor migran melintas.

Catatan menarik lainnya adalah dijumpainya 9 individu elang aneh ini terlihat terbang dalam satu koloni pada tanggal 31 Oktober 2010 yang kami perkirakan adalah jenis Elang Setiwel (Hieraaetus pennatus). Namun hal ini masih menjadi perdebatan yang panjang dikalangan pengamat Raptor. Sebagian pihak berpendapat bahwa elang yang kami “curigai” sebagai Elang Setiwel tersebut tak lain tak bukan adalah Elang Laut perut Putih (Haliaeetus leucogaster). Kecurigaan kami memasukkan elang ini dalan jenis Elang Setiwel bukannya tanpa dasar. Hal lebih dikarenakan hampir tidak ada laporan catatan Elang Laut Perut Putih resident di wilayah Gunung Sega ini. Adapun elang resident di daerah ini adalah Elang Ular Bido (Spilornis cheela). Berdasarkan pengakuan Pak Dono, memang dulu pernah terlihat Elang Laut Perut Putih melintas daerah ini, namun itu pun jumlahnya hanya 1 ekor dan bukan saat migrasi seperti sekarang ini. Sedangkan saat pengamatan kemaren, 9 individu elang aneh ini membentuk satu koloni tersendiri lalu bergabung dengan elang migran berukuran besar lainnya seperti Pernis ptilorhynchus. Koloni elang ini sempat soaring diatas menara stasiun relai TVRI (tepat diatas tempat kami melakukan pengamatan red.) dan setelah itu terlihat gliding menyeberangi selat Lombok. Saat itu jarak elang dengan kami hanya sekitar 10-15 m. namun berhubung kamera yang kami gunakan hanya sebatas kamera SemiPro maka hasil gambarnya pun tidak bisa maksimal.

Selain fakta-fakta yang tertera di atas, dugaan kami juga diperkuat oleh beberapa catatan pengamatan migrasi raptor tahun sebelumnya dimana pada tahun 2005, Raptor jenis ini (Elang Setiwel) terlihat melintasi Gunung Sega pada tanggal 22,26,27,28 Oktober 2005 dan 2,5,11,15 November 2005 (Dono dan Germi, 2005). Ditambah lagi pada migrasi raptor tahun 2006 dijumpai 9 ekor elang jenis ini namun oleh pak Dono saat itu dimasukkan kedalam jenis elang yang tak teridentifikasi. Ditambah lagi beberapa literatur seperti SKJB-nya MacKinnon dkk. dan Panduan Lapangan Identifikasi Raptor Migran di Indonesia oleh Wisnu Sukmantoro menyebutkan bahwa Elang Setiwel merupakan elang yang mempunyai penyebaran yang spesifik yaitu ini hanya dapat dijumpai di Sumatra dan Bali.

Itulah beberapa fakta di lapangan yang menyebabkan kami berkesimpulan bahwa elang aneh ini adalah jenis Elang Setiwel (Hieraaetus pennatus). Taruhlah ini adalah hipotesa pertama. Namun kami sama sekali tidak beranggapan bahwa kesimpulan kami ini benar secara mutlak. Karena andaikata kesimpulan kami salah, maka kita baru saja menjadi saksi fenomena langka abad ini dimana 9 individu Elang Laut perut Putih (Haliaeetus leucogaster) yang selama ini kita amini bersama sebagai jenis elang resident yang sekarang telah berubah menjadi elang yang mempunyai kebiasaan bermigrasi. Taruhlah ini adalah hipotesa ke dua. Dan setelah itu kita akan ber “pusing-pusing ria” untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mengiringi hipotesa ke dua seperti:

  1. Apakah jenis elang ini akan dimasukkan ke dalam jenis elang Vagran, Migran atau tetap menjadi elang resident?

  2. Jika memang elang ini bermigrasi maka dari manakah asal elang tersebut?

  3. Jika elang ini mengalami migrasi parsial berarti ada penyebabnya, apakah penyebab elang tersebut harus bermigrasi? Apakah karena perubahan iklim di wilayah asal misalnya, atau karena fase breeding yang harus menyebabkan elang ini bermigrasi, atau malahan ada faktor “X” lain yang belum kita ketahui bersama?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya akan selalu menghantui kita selama kita belum bisa memecahkan teka-teki dari hipotesa ke dua. Bagaimana dengan pendapat teman-teman lainnya? Namun apa pun pendapat teman-teman tentang “burung aneh ini, saya rasa hal tersebut akan semakin memperindah khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia.

Inilah sekiranya sekelumit cerita yang bisa kami bagi untuk teman-teman Raptorian semuanya. Selanjutnya PR terbesar telah menanti kami yaitu Pemetaan jalur balik Migrasi Raptor di Bali yang dari dulu belum terselesaikan dengan baik. Mohon doa dan dukungan rekan-rekan semua agar “Pekerjaan Rumah” kami yang tlah lama terbengkalai ini bisa cepat terselesaikan.


Salam Lestari



NB: Berikut ini kami sertakan juga foto-foto Raptor Migran yang sulit kami identifikasi.